Semakin banyak anak muda memilih untuk tidak mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Alasannya bermacam-macam: bunga tinggi, tenor terlalu panjang, cicilan mencekik, atau sekadar ingin hidup lebih bebas tanpa komitmen jangka panjang.Â
Mereka memilih menyewa, tinggal bersama orang tua, atau menabung perlahan dengan harapan bisa beli rumah secara tunai di masa depan.
Fenomena ini awalnya terdengar seperti pilihan pribadi. Namun ketika semakin banyak orang muda mengambil sikap serupa, dampaknya bisa merembet ke mana-mana dari pasar properti, struktur keluarga, hingga pola pikir masyarakat tentang kesuksesan dan kepemilikan.
Ketika Rumah Tak Lagi Jadi Simbol Kesuksesan
Di masa lalu, rumah adalah lambang pencapaian hidup. Bagi banyak orang tua, bisa mengangsur rumah meski 20 tahun adalah hal yang membanggakan.Â
Tapi generasi hari ini mulai menolak skema tersebut. Mereka lebih memilih fleksibilitas, kebebasan mobilitas, dan kesehatan mental dibandingkan rasa "tenang" semu yang datang dari cicilan panjang.
Akibatnya, persepsi sosial tentang "orang sukses" mulai bergeser. Jika dulu punya rumah berarti dianggap mapan, kini punya pilihan hidup yang tidak membebani dianggap lebih penting. Ini bisa jadi perubahan yang menyehatkan karena mengurangi tekanan sosial dan standar pencapaian yang seragam.
Namun, pergeseran ini juga bisa menimbulkan ketegangan antar generasi. Orang tua mungkin melihat keputusan anaknya untuk tidak ambil KPR sebagai bentuk ketidakseriusan atau ketidaksiapan hidup.Â
Padahal bisa jadi justru sebaliknya: mereka ingin hidup lebih rasional, bebas dari tekanan utang, dan punya ruang bernapas lebih luas untuk masa depan.
Di sisi lain, geliat properti pun terdampak. Penurunan minat terhadap KPR bisa membuat pasar rumah stagnan, dan perbankan kesulitan menyalurkan kredit.Â
Gaya hidup urban ikut berubah lebih banyak orang memilih menyewa, tinggal di apartemen kecil, atau bahkan hidup nomaden dari satu tempat ke tempat lain.
Kepemilikan Menurun, Ketimpangan Bisa Meningkat?
Ketika generasi muda menarik diri dari skema KPR, akses terhadap kepemilikan rumah jadi semakin terbatas.Â
Dalam jangka panjang, ini bisa memperlebar kesenjangan antara mereka yang bisa beli rumah secara tunai (biasanya dari keluarga berada) dan mereka yang harus menyewa seumur hidup.
Kepemilikan rumah punya kaitan erat dengan stabilitas. Mereka yang tinggal di rumah sendiri biasanya lebih merasa aman secara emosional, terikat dengan lingkungannya, dan lebih aktif secara sosial.Â
Jika semakin banyak anak muda tinggal berpindah-pindah karena menyewa, maka ikatan sosial di tingkat komunitas bisa melemah.
Ada juga risiko lain ketika permintaan beli menurun, investor dengan modal besar bisa memborong properti untuk disewakan.Â
Hal ini dapat membuat harga rumah makin tak terjangkau bagi masyarakat biasa, dan memperkuat dominasi pasar oleh segelintir pihak.
Secara sosial, ini berarti semakin banyak orang yang tidak punya tempat tinggal tetap. Masyarakat menjadi lebih cair, tapi juga lebih rentan.Â
Ketika rumah bukan lagi tujuan hidup bersama, kita perlu menata ulang cara kita membangun stabilitas dan keterikatan sosial di tengah dunia yang terus berubah.
Keputusan untuk tidak ambil KPR bukan tanda kegagalan, melainkan cermin realitas baru. Generasi sekarang melihat rumah bukan lagi sebagai simbol status, melainkan pilihan finansial yang harus disesuaikan dengan kondisi.Â
Tapi jika kecenderungan ini menjadi arus besar tanpa solusi alternatif yang setara dan adil, masyarakat bisa menghadapi tantangan baru dari ketimpangan hingga krisis kepemilikan.
Mungkin ini waktunya kita berhenti memaksakan satu jalan hidup, dan mulai merancang sistem yang memberi ruang untuk berbagai bentuk kestabilan bukan hanya rumah, tapi juga ketenangan hidup, kebebasan finansial, dan hak untuk tidak dikejar-kejar utang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI