Ada kalanya tubuh ingin berbaring lebih lama, pikiran ingin berhenti memikirkan target, dan hati ingin diam tanpa harus menjelaskan apa-apa.Â
Namun kenyataannya berkata lain. Tanggung jawab seolah tidak pernah selesai; selalu ada yang menunggu, meminta, menagih. Seakan hidup ini tak memberi cukup ruang untuk sekadar menarik napas dalam-dalam.
Kadang kita cuma ingin berhenti sejenak. Bukan karena lemah, tapi karena lelah. Bahkan ketika merasa lelah pun, kita merasa harus minta izin sama seisi hati untuk istirahat sebentar.
Ketika Waktu Istirahat Justru Terasa Seperti Kemewahan
Di tengah dinamika hidup yang penuh dengan tekanan finansial, istirahat bisa terasa seperti "barang" mewah.
Ada pekerjaan yang belum selesai, ada notifikasi yang terus berdenting, ada orang tua yang perlu ditanya kabarnya, ada anak atau adik yang harus dibantu belajarnya, ada teman yang minta didengarkan, bahkan ada deadline yang diam-diam sudah menanti tanpa kompromi.
Kadang kita bertanya dalam hati, "Bolehkah aku diam sebentar? Tanpa merasa bersalah?"
Tapi rasa bersalah itu cepat datang. Saat kita memilih tidur lebih awal, ada suara di kepala yang bilang, "Kok gak kerja lebih lama?"
Saat kita memilih cuti sehari, ada pikiran yang menegur, "Kamu gak produktif banget sih." Lama-lama, istirahat jadi terasa seperti tindakan egois, padahal justru itu kebutuhan dasar manusia.
Tanggung Jawab Tidak Salah, Tapi Bukan Berarti Kita Harus Selalu Kuat
Kita semua hidup dengan peran masing-masing.Â
Ada yang jadi tulang punggung keluarga, ada yang jadi sandaran emosi bagi orang-orang sekitar, ada pula yang jadi tempat bertanya, tempat bergantung, tempat menyelesaikan.Â
Tapi jadi 'tempat' untuk banyak hal, bukan berarti harus kehilangan diri sendiri.
Tanggung jawab bukanlah musuh. Justru karena rasa cinta dan kepedulianlah kita terus bertahan.Â
Tapi ketika beban itu mulai mengikis ketenangan, kita perlu berani mengakui bahwa kita juga butuh ruang. Bahwa istirahat tidak menjadikan kita buruk, dan berhenti sebentar bukan berarti menyerah.
Kalau kita rusak karena memaksakan segalanya, siapa lagi yang bisa menyelesaikan semua hal yang kita perjuangkan selama ini?
Tidak semua bentuk istirahat harus berupa liburan panjang atau cuti seminggu. Kadang cukup mematikan notifikasi satu jam lebih awal, memberi diri sendiri waktu untuk menulis jurnal malam, atau sekadar menolak ajakan yang tidak bisa kita penuhi hari itu.Â
Mungkin terlihat kecil, tapi itu bisa jadi cara menyelamatkan kesehatan mental kita.
Kita juga harus bisa mulai membiasakan diri bertanya, "Apa kabar hari ini, diriku?" sebelum sibuk menanyakan kabar orang lain.Â
Percayalah bahwa merawat diri bukanlah tindakan egois. Itu justru bentuk segala rasa hormat terhadap hidup yang sudah kita jalani sejauh ini.
Kita Semua Butuh Tempat Berhenti Sejenak
Bukan lemah, kalau kita butuh berhenti. Bukan gagal, kalau kita tidak selalu siap.Â
Justru di saat kita berani mengakui keterbatasan, di sanalah ruang tumbuh terbuka. Kita bukan mesin. Kita adalah manusia yang butuh jeda.
Istirahat bukan pelarian. Ia adalah bentuk cinta terhadap diri yang sudah terlalu sering melawan hari-hari berat sendirian.
Jika hari ini kamu ingin rehat, tapi masih harus bertahan sebentar lagi, tak apa. Setidaknya kamu tahu: istirahatmu tetap sah, walau hanya ada dalam doa-doa yang lirih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI