Meskipun Sartre mengatakan bahwa tidak ada makna bawaan bagi kehidupan, dia bukanlah seorang nihilis, yakni orang yang beranggapan bahwa tidak ada sesuatu pun yang mempunyai arti dan karenanya apa saja boleh dilakukan. Sartre percaya bahwa kehidupan pasti mempunyai arti dan kita sendirilah yang harus menciptakan arti ini dalam kehidupan kita.Â
Kita sepenuhnya bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang kita lakukan, termasuk kita tidak dapat mengelak dari tanggung jawab untuk membuat pilihan-pilihan.Â
Ketika kita memberikan makna kita sendiri dalam segala sesuatu yang kita lakukan, atau pilihan-pilihan yang kita putuskan, kita akan menyingkirkan segala hal yang kita anggap tidak relevan dengan kebutuhan atau kepentingan kita sendiri. Maka tidak heran, saat mengendari mobil Jeep seolah kita merasa saat ini di kota ini sedang banyak kendaraan Jeep.Â
Itu bukan karena sebelumnya di kota ini tidak ada mobil Jeep, tapi kita yang memandang kota ini dari kepentingan seorang pemilik mobil Jeep. Atau ketika kita telah melakukan sebuah kesalahan dan hal yang memalukan, kita merasa semua mata menghakimi kita, padahal orang-orang sedang menjalani hidupnya sebagaimana biasanya, dan tidak ada yang terlalu memperhatikan kita.
Namun, bukan kebenaran atau ketidakbenaran terkait pandangan itu yang jadi fokus dalam bahasan ini, melainkan terkait pengaruh keberadaan kafe-kafe dalam kehidupan para pemikir dan pencari kebijaksanaan itu.
Barangkali bukan karena hal-hal yang luar biasa, melainkan hanya sekadar hal-hal biasa yang berhasil mereka temukan kembali hingga menjadi pandangan dan gaya hidup yang diikuti orang-orang pada zamannya atau pada masa-masa sesudahnya. Bisa saja, pendapat mereka bukanlah sesuatu yang baru, tapi sebelumnya tidak disadari oleh orang-orang dari sudut pandang para filosof itu.Â
Pemahaman seperti itu hanya akan sekadar bercokol di kepala, tapi tidak berbuah menjadi sekadar narasi apalagi menjadi aksi. Maka tidak heran juga banyak orang yang bilang, "Saya tidak terlalu bisa berbicara," padahal ia tidak bisu. Mungkin bisa juga dibilang bahwa manusia bisa saja mengatakan bahwa mereka tahu segala hal, tapi hanya segelintir orang yang menyadari sesuatu hal.
Sebagaimana asal katanya, cafe dari Bahasa Prancis, warung kopi bila dipandang dari sudut pandang pengamatan budaya, berfungsi sebagai pusat interaksi sosial. Warung kopi memberikan semacam kemungkinan kepada anggota-anggota komunitas sosial untuk bisa berkumpul, berbicara, menulis, membaca, menghibur satu sama lain, atau sekadar membuang waktu, baik secara individu atau dalam kelompok kecil.
Sebagaimana warung kopi merupakan salah satu pusat interaksi sosial yang tidak resmi, maka mungkin bisa dikatakan bahwa sebagian banyak pembicaraan, tulisan, bacaan, hiburan, dan waktu yang terbuang di warung-warung kopi adalah sesuatu yang tidak resmi, baik yang dilakukan secara individu atau oleh sekelompok kecil orang-orang.
Namun, di kafe-kafe atau warung kopi, orang-orang itu bisa juga dikatakan sedang berfilosofi secara "tidak resmi." Mengapa tidak, bukankah epistem-epistem dapat muncul dalam alam pemikiran yang penuh dengan berbagai kemungkinan yang mungkin hadir di warung kopi atau kafe?Â