Dalam kebiasaannya nongkrong di kafe-kafe di Prancis, Jean Paul Sartre (1905-1980), seorang filosof eksistensialis berkebangsaan Prancis, bersama sahabat seumur hidupnya, Simone de Beauvoir, seorang perempuan Prancis yang juga filosof eksistensialis dan berusaha menerapkannya pada feminisme, ia melewatkan banyak waktunya di kafe-kafe.Â
Sambil menikmati kopi, teh atau cocktail, ia kerap bertukar pikiran seputar soal-soal eksistensi manusia. Tidak ada yang luar biasa soal hal ini, karena setiap manusia memang sejatinya adalah makhluk hidup yang menyadari eksistensinya.
Pada sebuah kesempatan di Bec de Gaz Bar di rue Montparnasse, Sartre nongkrong dengan sahabatnya Simone de Beauvoir dan Raymond Aron, sambil menikmati bahasan yang membuka kesadaran mereka secara radikal kepada lahirnya sebuah cara berpikir baru. Kata Sartre sambil menunjuk ke minumannya, "Kamu dapat berfilosofi melalui cocktail ini."
Apa yang membuat mereka, para filosof, menjadi lebih terkenal daripada orang-orang kebanyakan yang juga berpikir dan bertualang dari kafe ke kafe?
Menurut Sartre, eksistensialisme adalah humanisme. Dengan itu, menurutnya para eksistensialis berangkat dari ketiadaan menuju kemanusiaan. Dalam pandangannya, humanisme yang diacunya jauh lebih suram dalam memandang manusia daripada humanisme dalam pandangan Renaisans.Â
Hal ini tidak terlepas karena keberpihakan Sartre kepada apa yang disebut sebagai eksistensialisme ateis. Sartre memberikan analisis yang kejam terhadap situasi manusia ketika "Tuhan telah mati," sebuah frasa yang berasal dari Nietzsche.
Terkait dengan eksistensi, menurut Sartre benda-benda material semata-mata "ada dalam dirinya sendiri," tapi manusia "ada untuk dirinya sendiri."Â Dengan kata lain, menurutnya eksistensi manusia mendahului dirinya, aku ada mendahului apakah aku ini, eksistensi mendahului esensi.
Karena itu, menurutnya tidak ada gunanya untuk mencari makna dari kehidupan pada umumnya, melainkan manusialah yang bertanggung jawab untuk membuat makna atas hidupnya sendiri. Menurutnya, manusia seperti aktor-aktor yang diseret ke atas panggung tanpa mengetahui perannya, tanpa naskah dan tanpa juru bisik yang akan membisikkan apa yang harus dilakukan di atas panggung. Kitalah yang harus memutuskan sendiri bagaimana cara kita hidup.
Meskipun Sartre mengatakan bahwa tidak ada makna bawaan bagi kehidupan, dia bukanlah seorang nihilis, yakni orang yang beranggapan bahwa tidak ada sesuatu pun yang mempunyai arti dan karenanya apa saja boleh dilakukan. Sartre percaya bahwa kehidupan pasti mempunyai arti dan kita sendirilah yang harus menciptakan arti ini dalam kehidupan kita.Â
Kita sepenuhnya bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang kita lakukan, termasuk kita tidak dapat mengelak dari tanggung jawab untuk membuat pilihan-pilihan.Â
Ketika kita memberikan makna kita sendiri dalam segala sesuatu yang kita lakukan, atau pilihan-pilihan yang kita putuskan, kita akan menyingkirkan segala hal yang kita anggap tidak relevan dengan kebutuhan atau kepentingan kita sendiri. Maka tidak heran, saat mengendari mobil Jeep seolah kita merasa saat ini di kota ini sedang banyak kendaraan Jeep.Â
Itu bukan karena sebelumnya di kota ini tidak ada mobil Jeep, tapi kita yang memandang kota ini dari kepentingan seorang pemilik mobil Jeep. Atau ketika kita telah melakukan sebuah kesalahan dan hal yang memalukan, kita merasa semua mata menghakimi kita, padahal orang-orang sedang menjalani hidupnya sebagaimana biasanya, dan tidak ada yang terlalu memperhatikan kita.
Namun, bukan kebenaran atau ketidakbenaran terkait pandangan itu yang jadi fokus dalam bahasan ini, melainkan terkait pengaruh keberadaan kafe-kafe dalam kehidupan para pemikir dan pencari kebijaksanaan itu.
Barangkali bukan karena hal-hal yang luar biasa, melainkan hanya sekadar hal-hal biasa yang berhasil mereka temukan kembali hingga menjadi pandangan dan gaya hidup yang diikuti orang-orang pada zamannya atau pada masa-masa sesudahnya. Bisa saja, pendapat mereka bukanlah sesuatu yang baru, tapi sebelumnya tidak disadari oleh orang-orang dari sudut pandang para filosof itu.Â
Pemahaman seperti itu hanya akan sekadar bercokol di kepala, tapi tidak berbuah menjadi sekadar narasi apalagi menjadi aksi. Maka tidak heran juga banyak orang yang bilang, "Saya tidak terlalu bisa berbicara," padahal ia tidak bisu. Mungkin bisa juga dibilang bahwa manusia bisa saja mengatakan bahwa mereka tahu segala hal, tapi hanya segelintir orang yang menyadari sesuatu hal.
Sebagaimana asal katanya, cafe dari Bahasa Prancis, warung kopi bila dipandang dari sudut pandang pengamatan budaya, berfungsi sebagai pusat interaksi sosial. Warung kopi memberikan semacam kemungkinan kepada anggota-anggota komunitas sosial untuk bisa berkumpul, berbicara, menulis, membaca, menghibur satu sama lain, atau sekadar membuang waktu, baik secara individu atau dalam kelompok kecil.
Sebagaimana warung kopi merupakan salah satu pusat interaksi sosial yang tidak resmi, maka mungkin bisa dikatakan bahwa sebagian banyak pembicaraan, tulisan, bacaan, hiburan, dan waktu yang terbuang di warung-warung kopi adalah sesuatu yang tidak resmi, baik yang dilakukan secara individu atau oleh sekelompok kecil orang-orang.
Namun, di kafe-kafe atau warung kopi, orang-orang itu bisa juga dikatakan sedang berfilosofi secara "tidak resmi." Mengapa tidak, bukankah epistem-epistem dapat muncul dalam alam pemikiran yang penuh dengan berbagai kemungkinan yang mungkin hadir di warung kopi atau kafe?Â
Karena objek material filsafat ada di alam empiris, dalam pikiran dan dalam segala kemungkinan, sementara objek formalnya adalah sudut pandang yang holistik, radikal dan rasional atas segala hal yang ada.
Oleh karenanya, ide, gagasan dan persepsi yang dikonstruksi oleh seorang manusia tidak dapat diterima sebagai kebenaran tunggal yang kepadanya manusia lainnya harus menghamba dan menerima dengan sepenuhnya, sekalipun seringkali hanya gara-gara ide, gagasan dan persepsi yang terbatas itu sesama manusia saling bertengkar satu dengan lainnya.
Sesungguhnya, Sartre menggunakan kunjungan ke kafe-kafe itu untuk membuktikan cara kita "menghilangkan" apa pun yang tidak relevan untuk kita. Jadi bisa dikatakan, bahwa pergi ke kafe sama dengan berlatih untuk memungkinkan kita memahami hal terpenting dalam filsafat Sartre.
Dengan silogisme sederhana, dari fakta-fakta itu barangkali bisa dikatakan bahwa hal-hal yang tidak resmi adalah hal-hal yang berpotensi menjadi besar, dan bahkan mungkin lebih menarik bagi kebanyakan orang. Kita mungkin bisa mencari sendiri bukti-bukti yang ada di sekitar kita untuk mengklarifikasi pendapat ini.Â
Baik dari peristiwa dan dari tokoh-tokoh yang seringkali tidak pernah disadari keberadaannya, tapi kemudian muncul menjadi fenomenal, meskipun tidak jarang dengan kontradiksi dan kontroversi yang turut mengiringinya.