Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Antara Menjamurnya Kafe dan (Latihan) Filsafat Sartre

27 Juli 2019   21:39 Diperbarui: 28 Juli 2019   09:16 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun Sartre mengatakan bahwa tidak ada makna bawaan bagi kehidupan, dia bukanlah seorang nihilis, yakni orang yang beranggapan bahwa tidak ada sesuatu pun yang mempunyai arti dan karenanya apa saja boleh dilakukan. Sartre percaya bahwa kehidupan pasti mempunyai arti dan kita sendirilah yang harus menciptakan arti ini dalam kehidupan kita. 

Kita sepenuhnya bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang kita lakukan, termasuk kita tidak dapat mengelak dari tanggung jawab untuk membuat pilihan-pilihan. 

Ketika kita memberikan makna kita sendiri dalam segala sesuatu yang kita lakukan, atau pilihan-pilihan yang kita putuskan, kita akan menyingkirkan segala hal yang kita anggap tidak relevan dengan kebutuhan atau kepentingan kita sendiri. Maka tidak heran, saat mengendari mobil Jeep seolah kita merasa saat ini di kota ini sedang banyak kendaraan Jeep. 

Itu bukan karena sebelumnya di kota ini tidak ada mobil Jeep, tapi kita yang memandang kota ini dari kepentingan seorang pemilik mobil Jeep. Atau ketika kita telah melakukan sebuah kesalahan dan hal yang memalukan, kita merasa semua mata menghakimi kita, padahal orang-orang sedang menjalani hidupnya sebagaimana biasanya, dan tidak ada yang terlalu memperhatikan kita.

Namun, bukan kebenaran atau ketidakbenaran terkait pandangan itu yang jadi fokus dalam bahasan ini, melainkan terkait pengaruh keberadaan kafe-kafe dalam kehidupan para pemikir dan pencari kebijaksanaan itu.

Barangkali bukan karena hal-hal yang luar biasa, melainkan hanya sekadar hal-hal biasa yang berhasil mereka temukan kembali hingga menjadi pandangan dan gaya hidup yang diikuti orang-orang pada zamannya atau pada masa-masa sesudahnya. Bisa saja, pendapat mereka bukanlah sesuatu yang baru, tapi sebelumnya tidak disadari oleh orang-orang dari sudut pandang para filosof itu. 

The French existentialist philosophers Jean-Paul Sartre and Simone de Beauvoir taking tea together in Paris in 1946. Photograph: David E Scherman/Time & Life Pictures/Getty Image (sumber: theguardian.com)
The French existentialist philosophers Jean-Paul Sartre and Simone de Beauvoir taking tea together in Paris in 1946. Photograph: David E Scherman/Time & Life Pictures/Getty Image (sumber: theguardian.com)
Maka tidak heran, sering kali kita mendengar gumaman "Ooo, itu maksudnya," setelah orang-orang mendengarkan sebuah pendapat atau penjelasan, karena sebenarnya kesadaran itu eksis dalam pikirannya, tapi seringkali ia merasa tidak harus memikirkan apa yang diimplikasikannya.

Pemahaman seperti itu hanya akan sekadar bercokol di kepala, tapi tidak berbuah menjadi sekadar narasi apalagi menjadi aksi. Maka tidak heran juga banyak orang yang bilang, "Saya tidak terlalu bisa berbicara," padahal ia tidak bisu. Mungkin bisa juga dibilang bahwa manusia bisa saja mengatakan bahwa mereka tahu segala hal, tapi hanya segelintir orang yang menyadari sesuatu hal.

Sebagaimana asal katanya, cafe dari Bahasa Prancis, warung kopi bila dipandang dari sudut pandang pengamatan budaya, berfungsi sebagai pusat interaksi sosial. Warung kopi memberikan semacam kemungkinan kepada anggota-anggota komunitas sosial untuk bisa berkumpul, berbicara, menulis, membaca, menghibur satu sama lain, atau sekadar membuang waktu, baik secara individu atau dalam kelompok kecil.

Sebagaimana warung kopi merupakan salah satu pusat interaksi sosial yang tidak resmi, maka mungkin bisa dikatakan bahwa sebagian banyak pembicaraan, tulisan, bacaan, hiburan, dan waktu yang terbuang di warung-warung kopi adalah sesuatu yang tidak resmi, baik yang dilakukan secara individu atau oleh sekelompok kecil orang-orang.

Namun, di kafe-kafe atau warung kopi, orang-orang itu bisa juga dikatakan sedang berfilosofi secara "tidak resmi." Mengapa tidak, bukankah epistem-epistem dapat muncul dalam alam pemikiran yang penuh dengan berbagai kemungkinan yang mungkin hadir di warung kopi atau kafe? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun