Di balik dinding yang lapuk dan jam yang mangkrak,
Tersimpan katalog sunyi yang berdebu tebal.
Setiap rel yang berkarat adalah lembaran usang,
Bercerita tentang peluh dan janji yang tercekal.
Di bangku kayu yang lapuk, tersisa bekas duduk,
Namamu yang kukorek dengan uang logam telah kabur.
Suara mesin uap kini jadi bisikan angin,
Mengembara di peron yang merindukan huru-hurur.
Terdapat tiket-tiket kuning dalam laci besi,
Menjadi saksi bisu pelukan dan jabat erat.
Kini hanya tinggal coretan tanpa alamat pasti,
Seperti rindu yang tak lagi memiliki pelabuhat.
Di bawah kaca retak, foto hitam putih memudar,
Wajah-wajah asing dengan tatapan penuh arti.
Mereka yang berangkat tak pernah kembali lagi,
Menjadi hantu-hantu ramah dalam memori.
Langkahku beradu dengan ubin yang pecah,
Menggema dalam ruang tunggu yang sepi menganga.
Setiap derit pintu adalah bahasa yang terlewat,
Menceritakan kereta yang terlambat sampai senja.
Kini kuakhiri penelusuran di gerbong kosong,
Menyusun kembali kenangan yang tercerai-berai.
Stasiun tua ini adalah museum bagi waktu,
Tempat masa lalu diam dan tak mau beranjak lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI