Mohon tunggu...
Teguh Prakoso
Teguh Prakoso Mohon Tunggu... Dosen di Universitas Terbuka

Melalui tulisan adalah salah satu cara terbaik berbagi pandangan tentang banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jenaka Bermain Peran

16 September 2025   14:34 Diperbarui: 17 September 2025   08:11 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jenaka bermain peran adalah fenomena yang nyata. Bukan menjadi milik orang “atas” saja. Atau selebritis belaka. Juga bukan menjadi milik mereka para pemburu validasi. Sesungguhnya pelaku jenaka bermain peran adalah realitas yang benar adanya. Saya yakin setiap kita mungkin pernah menyaksikan. Atau bahkan mengalaminya. Dan mungkin memerankannya. Bagi saya, jenaka bermain peran adalah realitas sosial masyarakat yang berlaku di semua lini. Boleh ditolak. Bisa juga dibantah. Tidak harus disetujui. Tapi itu, sekali lagi, nyata adanya.

Alkisah, medio 1999-2002-an adalah masa ketika saya menjadi penumpang setia bus Jakarta-Pemalang, atau sebaliknya Pemalang-Jakarta. Perjalanannya tidak sering. Tapi selalu saya coba untuk mengingatnya. Saya senang saja kalau harus mengenangnya. Saat itu, di jalur panturaan, banyak perusahaan otobus dengan nama yang identik dengan kata “Jaya”. Harapannya tentu agar sukses, lancar, dan diberkahi sang Penguasa Jagad Raya. Misalnya Menara Jaya, Dedy Jaya, Sinar Jaya, Putri Jaya, Tetap Jaya, dan beberapa lainnya.

Memang ada juga nama yang berbeda, seperti Ezri, Dewi Sri, Mitra Sari, Bhinneka (Ganesa), Kramatdjati (Hercules), dan beberapa lainnya. Yang jelas, sebagaimana hukum pasar, hanya beberapa perusahaan yang menjadi favorit dan idola para penggunanya. Prinsipnya tetap simpel: murah, ngebut, tidak mampir-mampir, dan ada hiburan musik dangdutnya. Kadang tarling.

Kala itu, bus-bus ber-AC sudah tersedia, tapi masih jarang. Kalau pun ada, yang naik beda tipikalnya. Rata-rata “jaim”. Tidak ramah. Ngobrol juga seperlunya. Malah terkadang obrolan yang muncul hanya basa-basi belaka. Ukurannya mungkin hanya untuk mendapatkan stempel “validasi” saja. Saya tidak menyukai itu. Variabel yang paling gampang adalah bahasa yang dipilih. Umumnya, masyarakat panturaan bahasa ibu yang digunakan adalah bahasa Jawa kasar. Beberapa berdialek ngapak.

Saya suka kaget saja ketika ada yang sampai tiba-tiba lupa bahasa pertama yang dikuasainya. Aksentuasi ngapaknya tidak terlihat lagi. Yang muncul kata “gue” .. “elu”… dan sejenisnya.

“Ah, rupanya sudah jenaka bermain peran”, gumam saya hehehehee….

Menurut teori pemerolehan bahasa, bahasa ibu sangat terekam dengan baik sehingga penggunanya tidak akan lupa. Mungkin yang duduk di sebelah saya ketika itu sengaja melupakannya. Maklum, dia pikir kalau sudah berhasil merantau di Jakarta itu artinya sudah menaklukkan ibukota. Jadi, tenggorokannya sudah lupa lagi kata “enyong”. Ah, memang jenaka bermain peran.

****

Saya masih tidak lupa, saat itu tarif beberapa bus dari Pemalang ke Jakarta itu lebih murah dibandingkan rute sebaliknya, Jakarta ke Pemalang. Mungkin operator kasihan. Pas mau berangkat ke Jakarta, penumpang hanya membawa bekal yang ada saja. Kadang tarif juga masih pakai adu argumen dulu. Alias tawar-menawar. Asumsinya, mereka akan pergi bekerja. Yang dibawa ya masih seadanya. Jenaka bermain peran selalu dijadikan dasar.

“Ah, kan ini baru mau berangkat cari duit, ongkos yang ada ya cuma ini, mahal amat”, kata salah satu penumpang sebelum memutuskan naik ke bus.

“Kemarin tetangga baru berangkat juga, gak segini tarifnya”, lanjutnya ketika sang konduktur tetap ngotot tidak mau menurunkan target harga yang dipatok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun