Lalu ada malam di Caf Sedjuk. Dengan cahaya temaram dan suasana hangat, kami menikmati makan malam sederhana. Tapi yang membuatnya berharga bukanlah menunya, melainkan obrolan panjang yang penuh makna.
Yang paling indah adalah ketika kami berdoa bersama. Saat itu, saya merasa doa kami melangit menjadi satu. Ada ketenangan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.
"Bahagia tidak selalu butuh mewah, kadang hanya butuh satu orang yang membuatmu merasa cukup."
Hati yang Tak Mau Berpaling
Dengan dia, setiap percakapan selalu berarti. Kami bertukar pikiran tentang hidup, mimpi, bahkan hal-hal kecil. Saya merasa benar-benar didengarkan, benar-benar dihargai. Itu yang membuatnya berbeda dari yang lain.
Membuka hati untuk orang baru setelah merasakan itu semua ternyata melelahkan. Setiap usaha terasa dipaksakan, karena hati ini menolak siapa pun yang mencoba masuk.
Ada orang-orang baik yang hadir, dengan tulus menawarkan kesempatan baru. Namun setiap kali, hati saya berbisik pelan, "Bukan dia."
"Sekali hati menemukan rumahnya, semua tempat lain hanya akan terasa persinggahan sementara."
Saya akhirnya mengakui: saya lelah membuka hati untuk yang baru. Karena hati ini masih terikat erat padanya. Dia tetap nomor satu, dan tidak ada duanya.
Pelajaran dari Rasa yang Dalam
Namun, di balik kelelahan ini, saya belajar sesuatu yang penting. Bahwa cinta sejati memang tidak bisa dipaksakan. Ia hadir dengan sendirinya, menetap tanpa izin, dan bertahan meski waktu terus berjalan.