Mohon tunggu...
Teguh H Nugroho
Teguh H Nugroho Mohon Tunggu... Procurement - GA

Aku mencoba merangkai setiap isi hatiku dalam kata, hanya untuk kamu — satu-satunya alasan mengapa aku masih percaya pada cinta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tentang Mereka yang Berhati Tulus Tapi Selalu Kalah dalam Percintaan

27 Juli 2025   12:14 Diperbarui: 27 Juli 2025   12:14 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu kisah yang terus berulang dari zaman ke zaman, dari cerita tua di sudut negeri hingga film-film modern yang memikat layar: tentang seseorang yang mencintai dengan tulus, memberi tanpa pamrih, namun justru harus tersungkur dalam sepi. Kisah manusia berhati baik, yang tidak pernah pandai memainkan peran, tidak lihai menyembunyikan rasa, apalagi berdusta demi cinta. Mereka yang ketika mencinta, mencinta sepenuhnya, tanpa syarat, tanpa strategi, dan tanpa perlindungan.

Mereka inilah yang seringkali kalah.

Kekalahan mereka bukan karena cinta mereka kurang besar---justru sebaliknya. Mereka mencinta terlalu dalam, terlalu jujur, terlalu polos. Di tengah dunia yang gemar pada sensasi dan permainan tarik-ulur, cinta yang tulus kerap dianggap membosankan. Di tengah orang-orang yang memilih pasangan seperti memilih pakaian musim, ketulusan dianggap sebagai kelemahan. Padahal mereka adalah jenis manusia yang langka---yang jika diberi kesempatan, akan membangun rumah dari kesetiaan, atap dari pengertian, dan dinding dari pengorbanan.

Tapi dunia tidak selalu adil kepada yang tulus. Dunia lebih sering berpihak pada yang misterius, yang penuh teka-teki, yang tahu kapan harus pergi untuk membuat rindu dan kapan kembali untuk mengikat rasa. Sementara si tulus? Ia tinggal diam, menunggu, berharap bahwa cinta yang ia tanam dengan benih ketulusan dan air mata, suatu hari akan tumbuh menjadi pohon yang teduh dan kuat.

Namun seringkali, yang tumbuh justru luka.

Manusia berhati tulus adalah mereka yang tidak pergi saat orang yang mereka cintai berubah. Mereka tetap tinggal saat luka datang, tetap percaya meski dikhianati, tetap memaafkan meski tak diminta. Tapi pada akhirnya, merekalah yang ditinggalkan. Karena cinta mereka dianggap terlalu tersedia, terlalu bisa ditebak, terlalu "ada". Dan manusia, sayangnya, seringkali menginginkan yang tidak pasti, yang sulit diraih, karena mereka keliru mengira itu adalah tantangan, padahal itu bisa saja jebakan.

Dalam setiap hubungan, manusia tulus lebih sering menjadi tempat bersandar ketika yang dicinta sedang lelah, tetapi tidak pernah menjadi tujuan utama ketika bahagia datang. Mereka adalah penampung air mata, bukan pembagi tawa. Mereka adalah pengingat jalan pulang, tapi tak pernah menjadi rumah itu sendiri.

Ada ironi besar di sana. Ketulusan---yang mestinya menjadi dasar dari cinta---justru tidak menjamin kebahagiaan. Karena cinta di zaman ini tak lagi sederhana. Ia dipenuhi ego, kepentingan, dan ketakutan. Dan manusia yang tulus, karena terlalu jujur, tak pernah bisa bersaing dalam dunia yang penuh manipulasi.

Namun, apakah mereka benar-benar kalah?

Jika diukur dari memiliki atau tidak memiliki, mungkin iya. Mereka sering tidak menjadi pilihan terakhir, tidak menjadi pasangan hidup, tidak menjadi bagian dari cerita bahagia itu. Tapi di dalam hati mereka, mereka tahu: mereka telah mencinta dengan cara paling indah, paling manusiawi, dan paling mendekati cinta ilahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun