Mohon tunggu...
Situt Saputro
Situt Saputro Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

@situt.04

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Kelam Kemerahan

21 April 2020   01:33 Diperbarui: 21 April 2020   17:43 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yati diseret, diangkut, dan dibawa dengan truk terbuka. Menuju pedalaman pinggiran kabupaten, di tengah gelapnya rawa, Yati dibuang tak berdaya. Cukup? Belum, si tentara tak ada puasnya, mereka menyalakan putung rokoknya, membakar di tengah kesepian, sembari menutulkan dan menempelkan di bagian kanan dan kiri payudara Yati, membentuk sebuah gambar yang paling ditakuti seluruh bala tentara negara; palu dan arit.

---

Entah berapa lama Yati tidak sadarkan diri di tengah balutan lumpur rawa, hingga suatu hari ditemukan oleh gerombolan anak-anak yang pergi mencari ikan di awal musim penghujan. Mereka kaget, mereka melaporkan pada Pak Darsuki, salah satu petinggi kampung Gedeg Gede. Yati ditolong, disembuhkan, dipulihkan secara perlahan hingga hari ini.

---

Belakangan Haryati menyadari dan masih tidak sudi mempercayai. Dituduh Gerwani hanya karena anak petani buta huruf yang di rumah gedegnya terpampang gambar Soekarno dengan gagahnya.

Dituduh komunis hanya karena anak dari seorang ibu yang menjadi babu di rumah Kades Baidlowi yang menjadi simpatisan Partai Merah. Serta dituduh menjadi bagian dari pemberontakan September kelam hanya karena adik dari seorang yang giat bersuara melawan setan tanah yang menggerogoti kampungnya.

Kepala bapaknya sudah mengalir di kali menuju bengawan, sedang tubuhnya mendekam dalam goa pejatenan. Raga ibunya dicincang dan dibakar di bawah pohon beringin di depan kantor karesidenan. Sedangkan kakanya hilang dan raib beesama pelarian, mungkin sama senasib dengan kedua orang tuanya, atau lainnya entah takdir memang suka bercanda.

Sedang Haryati tetap tidak pernah mau mencoba melupakannya dengan bekas yang masih menempel di kedua belah teteknya. Selalu menceritakan pada anak-anak asuhnya, ketika mereka penasaran akan dongeng bengisnya komunis yang diceritakan para ustadz di madrasah Diniyah, setiap akhir September menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Negara ini boleh gagah dengan garudanya, namun tiada artinya kalau hanya takut pada sejarah dan simbol belaka.

Ciputat. 10 November 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun