Tidak jauh dari titik awal pemberangkatan. Yati bersama beberapa orang yang tidak dikenalnya dipaksa duduk melingkar di tengah halaman depan koramil angkatan darat yang asing dan tak pernah dilihatnya. Di tengah kebingungan di mana ia berada, Yati mendapat giliran untuk masuk suatu ruangan tempat orang-orang dimintai informasi tentang data dirinya sendiri-sendiri.
Tak disangka, ketika sang tentara yang mengintrogasi Yati membaca data diri yang dikasihnya sebagai barang bukti bahwa dia bukan orang asing di kota ini. Sang tentara menampar dan memukul Yati dengan penuh amarah, meludahi pipi halusnya, serta memegang dagu dengan keras dan memaksa.
"kowe Gerwani?" tanyanya.
"dudu, saya gak tau menau soal itu" jawab Yati ketakutan.
"wes jelas-jelas. Haryati bocah Sumberharjo, anaknya Mat Kusen yang darahnya merah semerah ajaran komunis yang diimaninya"
"saya islam, Pak"
"islam-islam tapi Peekaaii, sontoloyo. Melbu!!!" gertak sang tentara dengan menendang pantat Haryati. Jatuh tertungkup, Haryati kembali ditendang oleh kawan-kawan tentara lainnya, hingga masuk dalam ruangan penuh manusia yang penuh luka memar dan darah, yang semua dengan ketidak-pastian dan kebimbangan menghitung hari-harinya menuju kematian.
Yati semakin takut dan kehilangan arah, tatapan kosong, muka penuh bengkak, hidung dan mulut berkucuran darah. Yati kembali mendapat panggilan untuk masuk kembali ke ruangan.
Mulut yang sudah tidak mampu lagi berucap, Yati hanya duduk menggigil penuh ketakutan. Ditambah tatapan tiga tentara di ruangan dengan tatapan penuh benci, dendam, dan sedikit sinis mesum memperparah kondisi kejiwaan Yati.
"Gerwani sejak kapan kowe?" tanya tentara tadi.
Yati dengan derih lirih tangis tak mampu menjawabnya.