Sampai pada tahapan formal dimana kehidupan yang kita hadapi seakan "tak membutuhkan" otak kreatif. Saat sang anak, misalnya mesti dijejali dengan perangkat pengetahuan tertentu, tanpa ada dialog, pertimbangan metoda dan semacamnya.Â
Atau Saat seluruh pendekatan ke anak/siswa hanya  berupa intruksi, perintah, prosedur, ancaman dan larangan sering menjadi langkah normatif. Lalu muncul istilah "anak patuh dan anak baik" tanpa ukuran yang menyeluruh.
Seiring dengan itu pula, otak kreatif tadi menjadi jarang digunakan secara khusus, terlebih lagi bila seseorang dalam kondisi selalu nyaman, dalam sistem kerja yang kaku dan rendahnya variasi minat yang produktif.si individu pun tenggelam aktivitas yang monoton. Keasyikan" belajar yang autentikpun hilang/kering.
Sejatinya, otak kreatif itu masih selalu "terilhami" selama kita termotivasi dan tersimulasi oleh kondisi eksternal tertentu, misalnya saat bermain bersama anak kecil, saat merancang suatu proyek atau ketika  memutuskan satu perkara pelik dan mencoba membuka berbagai perspektif.
Secara khusus, kita memang mesti membuat prosedur otak kteatif dalam aktivitas sehari hari. Ini diperlukan  agar ilham kreatif itu bisa muncul dan berwujud dalam skala kerja profesi, pergaulan, bisnis dan keputusan penting untuk perbaikan.
Lewat otak kreatif inilah, idealnya secara spiritual kita bisa "terhubung" dengan Sang Maha Mencipta, sehingga karya fikir dan bendawi yang terciptapun selaras dengab norma kebaikan umum dan tidak asal kreatif!