Secara praktik, ilmuwan mengelompokkan otak dengan beberapa kategori. Pertama, otak dengan fungsi berfikir linear, teratur, mengingat, memutuskan dan terstruktur. Kedua, otak yang berfungsi dalam berfikir non linear, acak, menyeluruh dan tak terstruktur.
Ketiga, otak dengan bagian fungsi untuk emosi, pertahanan diri dan respon spontan, dikenal sebagai otak reptil.Â
Ada juga otak yang bekerja dalam skala eksistensial-spiritual, pernah disebut dengan "titik Tuhan" oleh sebagian ilmuwan.
Adapun yang menjadi fokus kita adalah otak kreatif. Sering dikenal dengan istilah otak kanan. Ia berisi paduan asosiasi  yang membentuk kinerja ide dan lompatan peristiwa/pengalaman.
Idealnya kita memang bertumpu pada kedua belah tipe otak tadi, kiri dan kanan. Tapi, dalam perjalanan pengalaman sehari hari, sebagian belah otak itu mendominasi pola laku kita.Â
Sebagiannya berlaku, mungkin, tanpa kita sadari. Tidak kita sadari misalnya karena pola asuh, pola belajar di sekolah dan kebiasaan rutin kita.
 Tahapan selanjutnya, antara dua belahan itu menjadi otak opini/relatif bebas dan otak kritik. Kedua moda ini dibutuhkan dalam mencapai tujuan individu.
Hakikatnya otak kreatif yang kita pandang di sini, ianya dirancang oleh Pencipta (Allah SWT) sebagai perangkat awal dalam kehidupan kita guna menyelaraskan diri dengan kompleksitas hidup.Â
Ini adalah fase "alam bawah sadar" saat masa kanak kanak berlangsung hingga fase awal dewasa, saat semua telah terstruktur di sekolah khususnya (juga di rumah).Â
Pada masa ini, otak kreatif kita selalu hidup dan mewarnai setiap tingkah laku, cara berfikir dan permainan. Ialah otak yang penuh rasa ingin tahu, percobaan, keberanian dan keaslian "karya".
Sampai pada tahapan formal dimana kehidupan yang kita hadapi seakan "tak membutuhkan" otak kreatif. Saat sang anak, misalnya mesti dijejali dengan perangkat pengetahuan tertentu, tanpa ada dialog, pertimbangan metoda dan semacamnya.Â
Atau Saat seluruh pendekatan ke anak/siswa hanya  berupa intruksi, perintah, prosedur, ancaman dan larangan sering menjadi langkah normatif. Lalu muncul istilah "anak patuh dan anak baik" tanpa ukuran yang menyeluruh.
Seiring dengan itu pula, otak kreatif tadi menjadi jarang digunakan secara khusus, terlebih lagi bila seseorang dalam kondisi selalu nyaman, dalam sistem kerja yang kaku dan rendahnya variasi minat yang produktif.si individu pun tenggelam aktivitas yang monoton. Keasyikan" belajar yang autentikpun hilang/kering.
Sejatinya, otak kreatif itu masih selalu "terilhami" selama kita termotivasi dan tersimulasi oleh kondisi eksternal tertentu, misalnya saat bermain bersama anak kecil, saat merancang suatu proyek atau ketika  memutuskan satu perkara pelik dan mencoba membuka berbagai perspektif.
Secara khusus, kita memang mesti membuat prosedur otak kteatif dalam aktivitas sehari hari. Ini diperlukan  agar ilham kreatif itu bisa muncul dan berwujud dalam skala kerja profesi, pergaulan, bisnis dan keputusan penting untuk perbaikan.
Lewat otak kreatif inilah, idealnya secara spiritual kita bisa "terhubung" dengan Sang Maha Mencipta, sehingga karya fikir dan bendawi yang terciptapun selaras dengab norma kebaikan umum dan tidak asal kreatif!