"Rp71 triliun untuk MBG terancam sia-sia karena fokus pada makanan ketimbang mengubah mindset masyarakat dan membebani guru dengan tugas pencicip berisiko."
Di tengah segala kegaduhan politik kita yang melelahkan, mulai dari rebutan kursi di parlemen sampai kasus ijazah palsu yang nggak habis-habis, ada satu drama yang agak luput dari headline, tapi sungguh menusuk sampai ke ulu hati. Yakni, drama Pahlawan Lidah yang ditolak mentah-mentah.
Pahlawan Lidah yang saya maksud ini bukanlah chef selebriti yang sibuk endorsement, apalagi food vlogger yang sibuk mukbang. Dia adalah guru—ya, pahlawan tanpa tanda jasa itu, yang dimintai tolong, atau lebih tepatnya didorong-dorong, untuk menjadi pencicip resmi program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah.
Drama ini adalah cerminan dari kegagalan logika kebijakan. Program se-ambisius dan se-mulia MBG, yang konon akan menyelamatkan generasi emas, ternyata hanya mampu menghasilkan persoalan memalukan di lapangan. Dan yang paling pahit, ketika program itu berdarah-darah, justru guru yang disodori lap pembersih—sekaligus risiko.
Skandal Rp71 Triliun dan Pemindahan Dosa ke Meja Guru
Begini gitu ya logikanya. Pemerintah, dengan segala niat mulia untuk melawan stunting, mengalokasikan anggaran APBN yang super duper jumbo, mencapai Rp71 triliun pada tahun 2025. Angka ini, kalau dihitung-hitung bisa buat beli puluhan pesawat tempur, atau mungkin mengurus seluruh infrastruktur pendidikan di pelosok negeri.
Namun, di tengah kucuran dana fantastis itu, muncul kabar-kabar pilu tentang kasus keracunan dan masalah kualitas pangan di berbagai daerah. Ini menunjukkan adanya kegagalan fundamental dalam rantai pasok dan pengawasan di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Baca juga:Â Ikan Hiu di Menu MBG, Bukti Bahwa Nggak Semua Program Pemerintah Itu Waras
Lalu, solusinya apa dong? Ya sudah, suruh aja guru yang mencicipi duluan.
Dilansir dari Kompas, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Purworejo dan Kota Semarang menolak keras wacana menjadikan guru sebagai tester menu harian MBG. Mereka bilang, imbalan sekecil Rp100.000 per hari itu tidak sebanding dengan risiko nyawa yang dipertaruhkan.
Opini saya, dan mungkin juga opini banyak orang waras, penolakan guru ini amat sangat manusiawi. Anggaran triliunan seharusnya memastikan keamanan pangan ditangani oleh ahli gizi atau pihak berwenang yang kompeten, bukan dibebankan kepada guru yang tugas utamanya adalah mengajar, membimbing, dan mendidik.
Jelas sekali, ini adalah pemindahan dosa. Beban pengawasan kualitas yang gagal di dapur produksi SPPG, kini dipindah ke meja sekolah, membebani guru yang sudah keteteran dengan tugas administrasi dan kurikulum yang muter-muter.
Dilema Stunting: Perang Melawan Dompet Kosong atau Otak yang Ngelunjak?
Masalah implementasi MBG yang kacau balau ini menuntun kita pada pertanyaan yang lebih besar tentang strategi penanganan gizi di Indonesia. Selama ini, kita sering diasumsikan bahwa stunting adalah masalah kemiskinan—anak-anak tidak bisa tumbuh karena orang tua tidak punya uang. Intinya, masalah ada di supply side uang atau makanan.
Tapi analisis mendalam terhadap akar masalah gizi menunjukkan hal sebaliknya. Masalah gizi kronis ini jauh lebih dominan dipengaruhi oleh perilaku, literasi gizi, dan pola pikir (mindset) masyarakat.
Dikutip dari Espos.id, Kepala BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) bahkan menyebut bahwa perubahan perilaku masyarakat bisa menjadi akar penyebab masalah stunting.
Ia mencontohkan, banyak calon pengantin yang lebih memprioritaskan dana pre-wedding yang mahal daripada skrining kesehatan pra-konsepsi dan pemenuhan gizi untuk calon ibu. Ini adalah kasus di mana prioritas sosial mengalahkan prioritas kesehatan. Uang ada, tapi dialokasikan untuk hal yang agak nggak penting.
Fenomena ini diperkuat oleh temuan lain. Dilansir dari Grid Health, terungkap bahwa kecukupan gizi masyarakat tidak hanya berkaitan dengan ekonomi saja, tetapi juga pengetahuan tentang gizi, budaya, dan kebiasaan.
Di daerah yang memiliki sumber protein murah (ikan dan telur) dan terjangkau, orang tua justru menghabiskan uang untuk membelikan anak-anak minuman berperisa tinggi gula dan junk food lainnya. Itu namanya salah prioritas pengeluaran yang diakibatkan oleh literasi gizi yang rendah. Otak yang ngelunjak karena miskin ilmu gizi, lebih berbahaya daripada dompet yang kosong.
Mengacu pada artikel Halodoc, pola pikir yang perlu diubah adalah keyakinan bahwa makanan hanya untuk mengenyangkan perut. Pola pikir ini harus diubah total, bahwa makanan itu adalah bahan bakar untuk perkembangan otak dan pertumbuhan optimal. Mitos-mitos tentang makanan bayi juga harus di-cut habis-habisan.
Revolusi Literasi Gizi: Kenapa Solusi Sederhana Ini Malah Dilupakan?
Melihat kontradiksi ini, di mana anggaran triliunan dihamburkan untuk program supply yang rentan keracunan—bahkan rentan ladang korupsi, sementara akar masalah demand (pengetahuan) diabaikan, munculah satu pertanyaan logis. kenapa kita tidak mengalihkan fokus?
Baca juga:Â Mengapa Makan Bergizi Gratis Tidak Cukup untuk Cerdaskan Anak?
Anggaran MBG yang mencapai Rp71 triliun itu, adalah dana yang sangat besar. Jika dana ini terus-terusan dipakai untuk program MBG yang rawan skandal kualitas, itu namanya intervensi mahal yang tidak menghasilkan kemandirian. Kita hanya menciptakan ketergantungan masyarakat pada makanan dari pemerintah. Begitu programnya selesai, pola makan buruk akan balik lagi, gitu kan?
Maka, alihkan aja dana raksasa itu untuk revolusi literasi gizi secara nasional.
Ini adalah investasi yang jauh lebih murah, minim risiko, dan berkelanjutan. Fokusnya adalah memberdayakan keluarga. Daripada memberi ikan matang, kita ajari mereka memancing dan memilih umpan terbaik.
Pola makan sehat itu, tidak harus identik dengan makanan mewah dan nggak terjangkau kok. Tidak perlu superfood impor. Pola makan bergizi itu adalah makanan lokal yang sederhana dan terjangkau, seperti protein hewani murah (telur dan ikan lokal), serta sayur dan buah yang mudah didapatkan di pasar, bahkan jika kita hidup di desa, semua sumber protein nabati bisa didapat di kebun sendiri.
Revolusi literasi gizi bisa mengajarkan:
- Prioritas pengeluaran: Agar orang tua tahu, uang jajan Rp5.000 untuk minuman manis lebih baik dialihkan untuk satu butir telur.
- Pola asuh benar: Mengubah mitos-mitos lama dan memastikan timing pemberian ASI eksklusif dan MPASI tepat.
- Pengolahan pangan aman: Agar tidak ada lagi kasus keracunan yang terjadi karena penanganan yang ceroboh.
Intervensi demand side ini adalah kunci untuk menciptakan kemandirian keluarga dalam memilih menu harian. Ia akan menciptakan perubahan perilaku yang bertahan seumur hidup.
Jangan Biarkan Anggaran Besar Berakhir Tragis
Program MBG, dengan niat mulianya, saat ini berjalan di atas landasan yang goyah dan terbebani oleh persoalan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Membiarkan anggaran Rp71 triliun terus mengalir ke program yang rentan keracunan dan ditolak pahlawan pendidikan, adalah pemborosan yang tragis.
Daripada menempatkan guru sebagai tester yang mempertaruhkan nyawa, lebih baik kita mengembalikan guru pada tugasnya, dan mengalihkan fokus kebijakan pada masalah yang sebenarnya. Yaitu memperbaiki literasi dan pola pikir masyarakat.
Mari kita tuntut kebijakan yang logis, yang menggunakan anggaran fantastis itu untuk mencerdaskan rakyat tentang pentingnya gizi, bukan sekadar ngasih makan jadi. Kalau rakyat sudah cerdas soal gizi, mereka sendiri yang akan tahu bagaimana membelanjakan uangnya untuk masa depan yang lebih sehat. Kan enak tuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI