Jelas sekali, ini adalah pemindahan dosa. Beban pengawasan kualitas yang gagal di dapur produksi SPPG, kini dipindah ke meja sekolah, membebani guru yang sudah keteteran dengan tugas administrasi dan kurikulum yang muter-muter.
Dilema Stunting: Perang Melawan Dompet Kosong atau Otak yang Ngelunjak?
Masalah implementasi MBG yang kacau balau ini menuntun kita pada pertanyaan yang lebih besar tentang strategi penanganan gizi di Indonesia. Selama ini, kita sering diasumsikan bahwa stunting adalah masalah kemiskinan—anak-anak tidak bisa tumbuh karena orang tua tidak punya uang. Intinya, masalah ada di supply side uang atau makanan.
Tapi analisis mendalam terhadap akar masalah gizi menunjukkan hal sebaliknya. Masalah gizi kronis ini jauh lebih dominan dipengaruhi oleh perilaku, literasi gizi, dan pola pikir (mindset) masyarakat.
Dikutip dari Espos.id, Kepala BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) bahkan menyebut bahwa perubahan perilaku masyarakat bisa menjadi akar penyebab masalah stunting.
Ia mencontohkan, banyak calon pengantin yang lebih memprioritaskan dana pre-wedding yang mahal daripada skrining kesehatan pra-konsepsi dan pemenuhan gizi untuk calon ibu. Ini adalah kasus di mana prioritas sosial mengalahkan prioritas kesehatan. Uang ada, tapi dialokasikan untuk hal yang agak nggak penting.
Fenomena ini diperkuat oleh temuan lain. Dilansir dari Grid Health, terungkap bahwa kecukupan gizi masyarakat tidak hanya berkaitan dengan ekonomi saja, tetapi juga pengetahuan tentang gizi, budaya, dan kebiasaan.
Di daerah yang memiliki sumber protein murah (ikan dan telur) dan terjangkau, orang tua justru menghabiskan uang untuk membelikan anak-anak minuman berperisa tinggi gula dan junk food lainnya. Itu namanya salah prioritas pengeluaran yang diakibatkan oleh literasi gizi yang rendah. Otak yang ngelunjak karena miskin ilmu gizi, lebih berbahaya daripada dompet yang kosong.
Mengacu pada artikel Halodoc, pola pikir yang perlu diubah adalah keyakinan bahwa makanan hanya untuk mengenyangkan perut. Pola pikir ini harus diubah total, bahwa makanan itu adalah bahan bakar untuk perkembangan otak dan pertumbuhan optimal. Mitos-mitos tentang makanan bayi juga harus di-cut habis-habisan.
Revolusi Literasi Gizi: Kenapa Solusi Sederhana Ini Malah Dilupakan?
Melihat kontradiksi ini, di mana anggaran triliunan dihamburkan untuk program supply yang rentan keracunan—bahkan rentan ladang korupsi, sementara akar masalah demand (pengetahuan) diabaikan, munculah satu pertanyaan logis. kenapa kita tidak mengalihkan fokus?
Baca juga:Â Mengapa Makan Bergizi Gratis Tidak Cukup untuk Cerdaskan Anak?
Anggaran MBG yang mencapai Rp71 triliun itu, adalah dana yang sangat besar. Jika dana ini terus-terusan dipakai untuk program MBG yang rawan skandal kualitas, itu namanya intervensi mahal yang tidak menghasilkan kemandirian. Kita hanya menciptakan ketergantungan masyarakat pada makanan dari pemerintah. Begitu programnya selesai, pola makan buruk akan balik lagi, gitu kan?