Kalau dihitung-hitung, kontribusi wajib kita kepada negara ini sudah gede banget, jauh melampaui seribu rupiah per hari. Lalu, mengapa Pemprov merasa perlu meminta donasi tambahan dari rakyat yang sudah melaksanakan kewajiban fiskalnya? Inilah inti dari kontradiksi etis yang membuat Sapoe Sarebu terasa pahit.
Ketika Kewajiban Negara Dioper ke Sumbangan Seribu Perak
Pemerintah punya kewajiban konstitusional untuk mensejahterakan rakyatnya, dan instrumen utamanya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diisi dari pundi-pundi pajak wajib tadi. Logikanya sederhana, jika ada rakyat miskin yang kesulitan membayar biaya transportasi kemoterapi, alokasi dana dari PKB, PPh, atau PBB seharusnya sudah mampu menanganinya.
Dikutip dari Bapenda Jabar, Sapoe Sarebu dirancang untuk membantu kasus-kasus darurat seperti biaya kesehatan dan pendidikan bagi yang tidak mampu.
Namun, ketika inisiatif ini muncul, ia seolah menyatakan secara tersirat, "anggaran wajib dari pajakmu gagal, tolong sumbang lagi!"
Baca juga:Â Kenapa Pemulihan Ekonomi Kita Kayak Jalan di Tempat?
Maka, program ini bukan lagi soal gotong royong, melainkan pengalihan tanggung jawab yang sangat elegan. Negara seharusnya bertanggung jawab penuh, bukan malah mengajak rakyat yang sama yang sudah membayar iuran wajib, untuk iuran sukarela lagi.
Ini adalah resep sempurna untuk menciptakan pungli berkedok filantropi, terutama di tingkat birokrasi dan sekolah yang rentan terhadap tekanan atasan. Klaim sukarela hanya akan menjadi macan ompong di hadapan surat edaran resmi.
Membuka Kalkulator Receh, Menyembunyikan Buku Kas Miliar
Bagian paling nyebelin dari kisah Sapoe Sarebu ini adalah isu transparansi.
Pemprov, melalui inisiator program, begitu getol menekankan bahwa pengelolaan dana Sapoe Sarebu harus transparan. Pengelola di tingkat RT/RW atau sekolah wajib melaporkan dana masuk dan keluarnya secara terbuka ke publik, bahkan disarankan melalui media sosial. Dilansir dari Radar Bogor, penekanan pada keterbukaan pengelolaan keuangan adalah kunci program ini.
Sekarang, coba kita balik kacamata. WNI, yang setiap tahun menyetor miliaran rupiah melalui PKB, PPh Pasal 21, dan PBB, seberapa mudah kita mengakses laporan realisasi APBD secara detail? Seberapa mudah kita mengetahui, misalnya, berapa persen dana dari Pajak Kendaraan Bermotor yang benar-benar dipakai untuk memperbaiki jalan atau membiayai layanan kesehatan?
Jawabannya: Sangat sulit.