Baca juga:Â Kenapa Pejabat Kita Lebih Sering Pamer Barang Mahal Ketimbang Buku?
Tindakan penyitaan buku ini, bahkan jika pada akhirnya buku-buku tersebut dikembalikan, seperti yang dilaporkan Tirto.id tetap mencapai tujuan psikologisnya.
Efek mencekam atau chilling effect sudah bekerja. Pesan yang sampai ke seluruh mahasiswa, aktivis, dan pembaca kritis adalah "Pikiranmu, pemikiranmu, dan bahan bacaanmu sedang diawasi. Jika ingin aman, jangan membaca terlalu dalam."
Hal ini akan membunuh ghiroh alias semangat segelintir orang yang selama ini menjadi benteng terakhir melawan banjir informasi hoaks di media sosial. Mereka yang idealis, yang mau berpanas-panas membaca Karl Marx di perpustakaan, kini malah diberi sinyal untuk menjadi orang-orang yang pragmatis, yang takut dicap radikal hanya karena memilih buku di rak.
Singkatnya, negara kita sedang menukar potensi kemajuan intelektual jangka panjang dengan ketenangan politik jangka pendek yang semu.
Jika pada akhirnya bangsa ini benar-benar gagal mencapai kecerdasan yang diimpikan oleh para pendiri negara, kita tidak perlu mencari kambing hitam jauh-jauh. Kita hanya perlu menoleh ke rak buku yang kosong, ke perpustakaan yang sepi, dan ke tindakan konyol menyita buku-buku yang seharusnya menjadi senjata utama kita melawan kebodohan massal.
Ah, sudahlah. Mending kita nikmati saja drama politik yang seperti sinetron. Gratis lagi. Kalau membaca itu dilarang, ya sudah, mari kita menjadi bangsa yang puas dengan kebodohan. Hahaha.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI