Jadi, intinya kita adalah bangsa yang punya kekurangan serius dalam hal bekal berpikir, menganalisis, dan memecahkan masalah. Modal dasar untuk pembangunan sumber daya manusia yang progresif itu nggak ada.
Baca juga:Â Membaca Bukan Sekadar Menggerakkan Bola Mata
Pertanyaan kritisnya kemudian, di tengah defisit kecerdasan yang akut ini, kenapa kok yang diserang justru adalah aktivitas membaca buku serius?
Ketika Filsafat Disamakan dengan Pentungan
Ketika aparat memperlihatkan tumpukan buku yang disita (yang di dalamnya ada buku-buku tentang Anarkisme, Marxisme, atau filsafat kritis) sebagai bukti kriminal, secara implisit mereka sedang menciptakan cacat logika hukum di hadapan publik.
Dilansir dari Kompas, kritik terhadap penyitaan ini sangat tegas. Buku adalah objek pengetahuan, bukan pelaku kejahatan.
Menyamakan buku tebal dengan pentungan atau batu yang dipakai saat kerusuhan adalah tindakan yang mengkriminalisasi pemikiran, bukan aksi kriminalnya. Ini adalah cara termudah pemegang kuasa untuk mengontrol narasi, yaitu dengan menstigma bahwa ide-ide alternatif adalah akar dari kekacauan.
Langkah ini bahkan mendapat teguran keras dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Mengutip pernyataan yang dimuat Jawapos, Mahfud MD menegaskan bahwa penyitaan buku tanpa putusan pengadilan itu langkah yang salah dan bertentangan dengan hukum.
Bahkan, tentang pelarangan Marxisme-Leninisme yang sering jadi dalih klasik, beliau mengingatkan bahwa pelarangan itu hanya berlaku untuk gerakan politik. Kalau untuk pengembangan pengetahuan, mendalami berbagai isme di dunia lalu dilarang, kata beliau, itu justru membuat kita sebagai bangsa menjadi bodoh.
Lha kalau begini, kita tuh bingung. Apakah kita harus taat pada amanat konstitusi untuk cerdas, atau harus patuh pada logika aparat yang takut pada buku?
Inti Masalahnya Adalah Paradoks Literasi dan Teror Pemikiran
Inilah puncak dari argumen ini. Kita menghadapi Paradoks Literasi dan Otoritas.
Negara, dengan segala sumber daya dan birokrasinya, seharusnya mendorong, melindungi, dan mensubsidi setiap inisiatif baca-tulis-diskusi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Negara, melalui tindakan represif ini, telah memilih untuk mempertahankan ketidakcerdasan.