Buku catatan terbuka di lantai. Halamannya menempel di lantai basah. Teks samar menjadi jelas. Kisah seorang anak kecil yang melihat penari hilang, kisah seorang anak yang membisu karena trauma.
Sekar berhenti menari. Nafas tercekat. Tangan menutup mulutnya sendiri.
Ia ingat. Ia bukan pewaris ingatan leluhur. Ia sendiri pernah ada di desa ini, kecil, berlari di halaman panggung reyot, tertawa bersama seorang teman perempuan yang pandai menari. Malam itu ada pertunjukan. Malam itu ada teriakan. Malam itu ia melihat sesuatu hancur. Teman kecilnya hilang. Ia melihat, tapi ia diam. Ingatannya terkubur.
Gunungan kosong itu bukan pusaka. Ia adalah ruang kosong di kepala Sekar. Lubang hitam yang menelan trauma, mengubur nama penari itu dalam diam.
Sekar terduduk. Matanya merah. Tubuh bergetar. Apakah ia hanya anak kecil yang menutup mata, lalu dewasa dengan kebohongan? Ataukah memang ada roh penari yang menagih janji?
Pak Wasis datang malam itu. Ia menatap Sekar yang linglung, tubuhnya diapit oleh gunungan dan buku catatan. "Kau harus dirawat," katanya, suara pelan, tapi tajam. "Ini luka lama. Ini bukan roh. Ini dirimu."
Sekar ingin percaya. Tapi kepalanya penuh suara. Ia mendengar gamelan, langkah penari, jeritan kecil yang dulu ia kubur.
Cermin di hadapannya bergetar. Di sana, ia melihat dirinya dengan wajah yang bukan wajahnya. Mata dalang tua. Senyum penari. Tangannya menggenggam gapit wayang yang tak ada.
Sekar menangis. Tangis itu bukan milik perempuan dewasa. Tangis itu milik anak kecil yang terlalu lama menutup mulut.
Sekar tersadar. Pusaka itu tak pernah membawa ingatan leluhur. Pusaka itu hanyalah kunci yang membuka luka masa kecil yang ia kubur. Ingatan yang ia kejar ternyata miliknya sendiri, bersembunyi di balik gunungan kosong.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI