Sekar gemetar. Bukan hanya karena ingatan leluhur yang menempel padanya, tapi karena ia merasa ingatan itu juga miliknya. Entah dari masa lalu yang tak pernah ia ingat, atau dari luka yang sengaja dikunci rapat.
Pagi itu, Sekar pergi. Membawa kotak, membawa buku, membawa ketakutan. Ia menempuh perjalanan ke desa kakek buyutnya. Desa sepi. Rumah-rumah kosong berdiri, menatap dengan mata jendela retak. Angin membawa aroma anyir tanah basah, seolah desa itu menyimpan sesuatu yang terlalu berat.
Orang-orang tua masih mengingat. Mereka berbisik di warung reyot, menyebut nama dalang itu, menyebut penari yang hilang, menyebut cemburu, menyebut dosa.
Sekar mendengarkan. Kata-kata itu menempel di telinganya seperti serangga.
Di malam hari, di rumah peninggalan yang ia tinggali sementara, Sekar membuka kotak lagi. Gunungan tua bergetar. Buku catatan membuka sendiri, halaman-halamannya melompat seperti ikan mencoba keluar dari air. Tulisan puitisnya membakar mata.
Sekar merasa ada tangan menyentuh bahunya. Halus, dingin. Ia menoleh. Tak ada siapa-siapa. Tapi cermin di depan tempat tidur menunjukkan dua sosok, dirinya sendiri... dan seorang penari.
Ketika Sekar menutup mata, ia mendengar suara itu jelas. "Kau yang melihatku terakhir kali."
Desa itu semakin menutup diri. Jalan setapak penuh lumut, pohon-pohon menekuk batangnya seperti punggung orang tua menyimpan rahasia. Malam panjang, jarum jam seolah berjalan ke belakang.
Sekar duduk di rumah peninggalan. Kotak kayu di hadapannya seperti mulut gelap. Ia mencoba membuka gunungan tua yang selalu ia biarkan berdiri. Malam itu, dengan tangan gemetar, ia mengangkatnya.
Di balik gunungan, lubang kosong di tengah. Tidak ada gambar, tidak ada inti, hanya kehampaan. Sekar menelan ludah. Hampa itu seolah menyedot matanya.
Tiba-tiba, tubuhnya terasa ringan. Bahasa Jawa Kuno mengalir dari mulutnya. Tangan dan kakinya menari tanpa iringan laras, tarian aneh seperti orang melawan air bah. Keringat bercampur air mata.