"Sebuah kotak warisan membuka bukan hanya pusaka leluhur, melainkan lubang lama dalam kepala Sekar—tempat trauma dan ingatan yang sengaja ia kubur."
Kotak itu tiba seperti tamu tak diundang. Sebuah peti kayu berukir, kecil tapi berat, dikirim oleh kurir yang wajahnya setengah tidur. Sekar hanya menerima, tanpa bertanya apa-apa, karena udara siang terlalu panas untuk menanggung percakapan.
Kotak itu seolah bernapas. Ukirannya bergelombang, seperti akar-akar mabuk. Sekar menatap lama, merasa ada sesuatu yang lebih padat dari kayu, lebih sunyi dari ruang kosong. Matanya menangkap secarik kertas terselip: warisan dari kakek buyut, seorang dalang legendaris dari desa yang hampir ia lupakan.
Sekar mendengus. Ia tak pernah mengenal lelaki itu. Leluhur hanya nama di kartu keluarga. Tapi warisan ini—aneh, seolah memanggil dengan suara yang tak berhuruf.
Ia membuka kunci besi dingin. Engsel berdecit. Di dalamnya, ada sepasang gunungan wayang, tua, kulitnya retak, warnanya pudar. Di sampingnya, sebuah buku catatan tanpa sampul, kertas-kertas menguning, rapuh. Saat Sekar menyentuhnya, jari-jarinya seperti menekan ingatan orang lain.
Sejak malam itu, tidur menjadi laut yang menolak. Ia bermimpi. Atau bukan mimpi, melainkan lorong yang menelan waktu. Dalam tidurnya, gunungan itu berdiri tegak di panggung kosong. Bayangan wayang menari tanpa dalang. Sekar melihat wajah-wajah samar, Bima, Arjuna, Srikandi. Mereka bukan wayang. Mereka manusia. Mereka mendekat.
Sekar terbangun dengan keringat dingin. Udara kamar berbau kayu. Kotak di sudut ruangan tampak lebih gelap, menyerap cahaya. Ia mencoba menenangkan diri, menyeduh kopi, tapi sendok kecil bergetar. Tangannya ikut bergetar.
Kejadian-kejadian kecil pecah tanpa pola. Sekar berbicara pada dirinya sendiri dengan bahasa yang tak ia kenali, lidahnya melafalkan mantra kuno. Di cermin, ia melihat tubuhnya menari perlahan, tangan lentik, kaki menapak tanah dengan irama gamelan—yang tak ada. Ia menari tanpa musik. Ia menari tanpa kehendak.
Ketika sadar, ia jatuh terduduk. Buku catatan itu terbuka sendiri. Tulisan puitis dalam aksara Jawa, gambar wayang buram. Sekar mencoba membaca, tapi kata-kata itu justru membacanya, menempel di matanya, membisikkan sesuatu.
Ia merasa dirinya hanyalah wayang lain. Gapit tak kasat menempel di tubuhnya.