Di luar, suara keriuhan dari rumah sebelah terdengar jelas. Suara orang berteriak, suara anak-anak bermain, dan jangkrik yang mulai bernyanyi di malam yang sunyi. Namun, di dalam dapur Uwak Rosi, hanya ada desisan wajan yang melambat, suara sendok yang mendarat pelan di piring, dan pikirannya yang terus berputar.
Seperti biasanya, ia mencatat segala sesuatu yang ia makan, yang ia minum, dan kapan ia harus mengonsumsinya.
"Kolesterol naik setelah makan malam," gumamnya pelan, menuliskan kembali pengingat pada catatan kecil di sisi meja. "Tapi... berapa lama setelah itu obat harus diminum?"
Ia membolak-balik halaman di kalender robeknya, seakan mencari referensi dari dunia yang tak tampak di depan matanya. Semua itu ia lakukan dengan keyakinan penuh, seolah ia adalah seorang ahli gizi yang tidak boleh melakukan kesalahan. Uwak Rosi selalu percaya bahwa segala sesuatu yang bisa dihitung dan dicatat, pasti akan memberi hasil yang diinginkan.
Namun, seiring waktu yang terus berjalan, ia mulai merasa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tak bisa dipetakan dalam tabel-tabelnya. Suara detak jam di ruang tamu seakan semakin keras, menyuarakan ketidakpastian yang mulai menggugah.
"21.45... 21.45... harusnya aku sudah minum obat," pikirnya, dengan tangan yang meraih botol kecil obat yang ada di saku dasternya.
Ia membuka tutupnya pelan-pelan, merasakan kesulitan kecil dalam setiap gerakan, seperti tubuhnya melawan gravitasi waktu.
"Apakah aku sudah telat?" tanyanya pada diri sendiri, lalu menatap piring kikil yang masih penuh. Sepertinya, ia harus makan sedikit lagi untuk melengkapi "grafik kurvanya".
Tapi sebelum sempat ia menelan obat itu, suara dari luar terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Terlihat anak-anak sedang bermain bola, berteriak, dan mengganggu ketenangan malam itu. Suara gaduh yang datang dari luar rumah seolah menambah beban dalam pikirannya. Rencana yang begitu rinci dan teliti kini terasa semakin konyol. Apakah ia benar-benar tahu apa yang sedang ia lakukan?
Uwak Rosi mengalihkan pandangan ke meja makan, menatap piring kikil yang semakin mendingin. Ia bisa melihat betapa pedasnya dan lezatnya daging itu—ia bisa merasakannya di lidah, betapa nikmatnya gurih kuah kaldu yang meresap hingga ke dalam daging.
"Tapi..." gumamnya, sambil memandangi botol obat statinnya lagi, "Harus sesuai jadwal, harus sesuai dengan grafik!"