Jam dinding berdetak keras. Obat statin ada di saku dasternya, hangat oleh suhu tubuh. Ia belum menelannya. Takut terlalu cepat. Takut terlambat.
Ia pandangi kalender. 21.45 WIB—fase gugus lemak ketiga?
"Uwak! Kikilnya gosong!"
Teriakan dari dapur mengguncang perhitungan. Ia berlari kecil, nyaris terpeleset minyak di lantai. Suara wajan meletup.
Obat di sakunya bergeser. Ia menoleh ke jam. 21.49.
Ia lupa, tadi rendangnya dua piring, bukan satu. Apakah itu mengubah seluruh rumus?
Malam itu, Uwak Rosi duduk di meja makan, memandang sepiring gulai kikil yang baru saja ia lepaskan dari wajan. Baunya menggoda, dengan aroma kaldu yang mendalam, berpadu dengan rempah yang meresap ke dalam daging. Tapi di hatinya ada rasa cemas yang lebih tajam daripada pedas cabe rawit.
Ia menatap sekilas ke jam dinding yang berdetak pelan, lalu kembali ke obat statinnya yang tergeletak di meja. Rasanya, tiap detikan waktu semakin berat—seperti ada hukum fisika yang mengatur tubuhnya untuk memproduksi kolesterol lebih banyak dari yang ia inginkan.
Sambil menggigit bibir, Uwak Rosi memandang kalender robek di depannya, yang sekarang lebih mirip peta perjalanan waktu ketimbang alat untuk mencatat hari-hari. Ia menatap baris-baris angka yang ditulis dengan stabilo pink dan biru. Tanggal, jam makan, dosis obat—semuanya disusun seperti agenda penting seorang ilmuwan yang sedang mengeksperimen pada dirinya sendiri. Ia membayangkan tubuhnya adalah grafik kolesterol yang sedang naik-turun.
"Kalau saya makan empat potong kikil, lalu nasi, bisa-bisa kolesterol saya bisa melonjak dua kali lipat, ya?" pikirnya, dengan kerut cemas di dahi.
Ia menggambar kurva kolesterol di kepala, seolah sebuah grafik yang naik tajam pada setiap gigitan. Dan obat statinnya? "Harus tepat setelah puncak grafik, supaya hasilnya maksimal," pikirnya lagi, sembari meraih sendok untuk mencicipi gulai kikil yang masih mengepul itu.