Angin malam menyusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma aspal lembab yang masih menyimpan sisa hujan sore tadi. Bramanto menggerakkan jemarinya di atas kemudi, mencoba mengusir kantuk yang mulai merayap pelan. Di luar, hanya kegelapan yang terbentang. Jalan lintas Sumatra malam itu begitu lengang, hanya sesekali ada lampu kendaraan yang melintas dari arah berlawanan, menggoreskan cahaya sebentar, lalu menghilang.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan firasat aneh yang sejak tadi mengendap di dadanya. Sudah bertahun-tahun ia menjalani pekerjaan ini, mengangkut logistik elektronik dari Palembang ke Lampung. Seharusnya tidak ada yang berbeda malam ini. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Di kaca spion, sebuah mobil hitam terlihat mengikuti dari kejauhan. Bramanto memperhatikan dengan ekor matanya. Bisa saja hanya kebetulan. Bisa juga tidak.
Ia menekan pedal gas sedikit lebih dalam, berharap bisa menciptakan jarak. Namun, mobil itu tetap di belakang, menjaga jarak yang mencurigakan.
Lima belas menit berlalu. Mobil itu masih ada.
Bramanto mendecak pelan. Ia tidak ingin berpikir buruk, tapi dunia jalanan mengajarinya bahwa kecurigaan sering kali menyelamatkan nyawa.
Di kejauhan, ia melihat sebuah warung kopi pinggir jalan dengan penerangan remang-remang. Ia membelokkan mobilnya, memutuskan untuk berhenti sejenak. Jika mobil hitam itu melewatinya, berarti ia hanya berprasangka. Jika tidak, maka sesuatu memang sedang mengintainya.
Bramanto turun, meregangkan tubuhnya yang kaku. Warung itu kecil, dengan beberapa kursi plastik yang berjejer di terasnya. Seorang pria tua dengan sarung lusuh duduk di sudut, menyeruput kopi hitam dari gelas kecil.
"Hitam, Bang," katanya kepada pemilik warung, seorang wanita paruh baya dengan rambut digulung asal-asalan.
Ia duduk di salah satu kursi, menunggu kopi pesanan datang, sementara matanya terus melirik ke arah jalan.