Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Jalan Terakhir di Tapal Bumi

18 Maret 2025   20:43 Diperbarui: 20 Maret 2025   03:59 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin malam menyusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma aspal lembab yang masih menyimpan sisa hujan sore tadi. Bramanto menggerakkan jemarinya di atas kemudi, mencoba mengusir kantuk yang mulai merayap pelan. Di luar, hanya kegelapan yang terbentang. Jalan lintas Sumatra malam itu begitu lengang, hanya sesekali ada lampu kendaraan yang melintas dari arah berlawanan, menggoreskan cahaya sebentar, lalu menghilang.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan firasat aneh yang sejak tadi mengendap di dadanya. Sudah bertahun-tahun ia menjalani pekerjaan ini, mengangkut logistik elektronik dari Palembang ke Lampung. Seharusnya tidak ada yang berbeda malam ini. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.

Di kaca spion, sebuah mobil hitam terlihat mengikuti dari kejauhan. Bramanto memperhatikan dengan ekor matanya. Bisa saja hanya kebetulan. Bisa juga tidak.

Ia menekan pedal gas sedikit lebih dalam, berharap bisa menciptakan jarak. Namun, mobil itu tetap di belakang, menjaga jarak yang mencurigakan.

Lima belas menit berlalu. Mobil itu masih ada.

Bramanto mendecak pelan. Ia tidak ingin berpikir buruk, tapi dunia jalanan mengajarinya bahwa kecurigaan sering kali menyelamatkan nyawa.

Di kejauhan, ia melihat sebuah warung kopi pinggir jalan dengan penerangan remang-remang. Ia membelokkan mobilnya, memutuskan untuk berhenti sejenak. Jika mobil hitam itu melewatinya, berarti ia hanya berprasangka. Jika tidak, maka sesuatu memang sedang mengintainya.

Bramanto turun, meregangkan tubuhnya yang kaku. Warung itu kecil, dengan beberapa kursi plastik yang berjejer di terasnya. Seorang pria tua dengan sarung lusuh duduk di sudut, menyeruput kopi hitam dari gelas kecil.

"Hitam, Bang," katanya kepada pemilik warung, seorang wanita paruh baya dengan rambut digulung asal-asalan.

Ia duduk di salah satu kursi, menunggu kopi pesanan datang, sementara matanya terus melirik ke arah jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun