Sekitar satu kilometer ke utara, ada sebuah pos peristirahatan kecil. Jika ia bisa sampai ke sana, mungkin ia masih punya kesempatan.
Masalahnya, tubuhnya hampir tidak bisa bergerak.
Dengan sisa tenaga, ia mulai menyeret tubuhnya keluar dari semak-semak. Setiap gerakan adalah siksaan, tetapi ia tidak punya pilihan. Daun-daun kering berdesir di bawah tubuhnya, ranting-ranting kecil patah di bawah beban beratnya.
Setiap inci yang ia tempuh terasa seperti seabad.
Tetapi ia tidak berhenti.
Ia tidak boleh berhenti.
Langit mulai berubah warna ketika Bramanto akhirnya melihatnya—lampu redup dari pos kecil di tikungan jalan. Bangunan itu tampak usang, tetapi ada harapan di sana.
Dengan napas terputus-putus, ia menarik tubuhnya lebih jauh. Tangannya gemetar saat meraih batu di pinggir jalan, berusaha mengangkat dirinya.
Satu langkah lagi.
Kemudian, suara mobil mendekat.
Kepalanya terangkat sedikit, dan jantungnya mencelos.