Pagi di rumah Arman selalu terdengar sama: gemericik air dari kamar mandi, suara sendok beradu dengan piring, aroma kopi hitam yang mengepul dari dapur. Nadya, istrinya, selalu bangun lebih dulu, memastikan segalanya tertata sebelum suaminya berangkat kerja. Putri kecil mereka, Dita, masih terlelap di kamar, selimut merah muda menutupi tubuh mungilnya.
Arman duduk di meja makan, membaca berita dari layar ponselnya. Sementara itu, Nadya sibuk menuangkan teh ke dalam cangkirnya. "Hari ini rapat besar?" tanyanya sambil melirik jam dinding.
Arman mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Iya, ada pembahasan soal target pajak tahunan."
Nadya tersenyum tipis. "Jangan lupa makan siang. Jangan hanya kopi."
Kata-kata sederhana, tetapi terdengar seperti kebiasaan lama yang berulang. Seperti isyarat tanpa suara bahwa ia masih peduli, bahwa ada tempat pulang yang menunggu.
Di kantor Dirjen Pajak, Arman dikenal sebagai pria yang berintegritas. Rapi, profesional, sedikit pendiam, tetapi tajam dalam analisis. Ia dihormati rekan kerja, disegani bawahan. Tidak ada yang meragukan dedikasinya.
Di antara tumpukan dokumen dan layar komputer yang penuh angka, ada satu hal yang tidak termasuk dalam target tahunan.
Rina.
Awalnya, hanya interaksi biasa. Sekadar diskusi tentang laporan. Sekadar berbagi opini tentang klien yang sulit. Sekadar bercanda ringan di sela lembur. Sekadar, sekadar, sekadar.
Tapi ada sesuatu dalam cara Rina menatapnya—mata yang terang dengan binar yang tak bisa dijelaskan. Cara ia tertawa dengan sedikit menunduk, seolah ingin menyembunyikan sesuatu. Cara ia sesekali menyentuh lengannya saat berbicara, gerakan kecil yang seharusnya tak berarti apa-apa.