Langit menggantung kelabu di atas perbukitan yang memagari desa. Angin berembus dingin, membawa bau tanah basah dan kayu lapuk. Rizal berdiri di tepi jalan setapak yang dulu begitu akrab baginya, kini terasa asing, seolah desa ini telah menghapus jejaknya.
Ia menarik napas dalam. Udara dingin menyesakkan dada, lebih karena kenangan daripada cuaca. Di kejauhan, gemuruh sungai yang mengalir deras menemaninya melangkah. Butuh dua belas tahun untuk akhirnya kembali, dan kini ia di sini, berdiri di antara bayang-bayang masa lalu yang enggan pudar.
Rumah-rumah panggung berjajar di sepanjang jalan tanah merah. Beberapa jendela terbuka, tapi tak ada yang menyapa. Tatapan yang mengintai dari celah-celah kayu lebih berbicara daripada kata-kata. Ia mengenali beberapa wajah—Pak Iskandar, yang dulu sering menghardiknya karena mencuri ayam, atau Bu Siti, yang pernah memintanya menjauh dari putrinya. Mereka semua masih di sini, tetap sama, hanya lebih tua. Sementara ia, apa yang tersisa darinya selain reputasi buruk yang tak lekang waktu?
Langkahnya melambat saat sebuah bangunan reyot muncul di ujung jalan, di tepi sungai yang bergemuruh. Surau tua itu masih berdiri, meski tampak lebih rapuh dari yang ia ingat. Atapnya bocor, dinding kayunya mengelupas, pintunya menggantung satu engsel. Rizal merasakan sesuatu yang berat menekan dadanya.
Ia melangkah ke depan, menyentuh kayu pintu yang lembap. Aroma debu dan kayu basah menyeruak. Bayangan dirinya di masa lalu bermain di depan matanya—seorang remaja liar yang sering berlarian di halaman surau, menertawakan mereka yang bersujud. Ia dulu berpikir bahwa hidup ini panjang, bahwa kebebasan adalah segalanya. Sampai semuanya runtuh.
Dari dalam surau, terdengar suara kayu berderak. Rizal tertegun. Ia menoleh ke dalam, mencoba menyesuaikan matanya dengan cahaya redup. Tidak ada siapa-siapa. Hanya bangku kayu yang terbalik dan sajadah lusuh di sudut ruangan.
Lalu, sebuah suara lirih. Seperti bisikan.
Rizal menelan ludah. Angin berhembus lebih kencang, menggoyangkan pintu surau hingga berderit. Ia melangkah masuk, merasakan lantai kayu yang dingin di bawah kakinya. Di sudut ruangan, sebuah Al-Qur'an tergeletak, tertutup debu tebal. Ia ragu-ragu mendekat, tangannya terulur, tapi tak mampu menyentuhnya.
Seolah ada yang menghalanginya.
Lalu suara itu datang lagi, lebih jelas.