Sebelum ia bisa menjawab, suara langkah terdengar di belakang mereka. Rizal menoleh dan melihat seorang lelaki tua berdiri di dekat pohon kelapa. Pak Karim.
Rizal mengenalnya sejak kecil. Dulu, lelaki itu sering mengawasi anak-anak yang bermain di sungai. Sekarang, rambutnya sudah memutih, wajahnya penuh garis-garis usia.
"Kau masih berani datang ke sini, Rizal?" suara Pak Karim rendah, tapi tajam.
Anak-anak langsung mundur beberapa langkah. Keheningan menyelimuti mereka.
Rizal menatap lelaki itu, berusaha membaca pikirannya. Ia bisa saja pergi, membiarkan lelaki itu tetap tenggelam dalam prasangka. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk mundur.
"Saya cuma lihat-lihat, Pak," jawab Rizal akhirnya.
Pak Karim menyipitkan mata. "Surau ini sudah lama tak terpakai. Kau kira kau bisa mengubah sesuatu?"
Rizal ingin menjawab, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, suara kecil terdengar di sampingnya.
"Kami mau surau ini dipakai lagi."
Semua mata tertuju pada anak laki-laki bertubuh kurus tadi. Ia berdiri tegap, menatap Pak Karim dengan sorot mata penuh keyakinan.
"Kalau ada yang bersihin, kalau ada yang ngajarin ngaji, kami pasti datang."