"Rizal..."
Ia terhuyung mundur. Jantungnya berdegup kencang. Suara itu bukan berasal dari luar. Bukan dari angin, bukan dari desiran sungai.
Itu dari dalam dirinya sendiri.
Rizal berdiri kaku, tubuhnya gemetar. Ia menatap Al-Qur'an di depannya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa Tuhan belum sepenuhnya pergi.
Pagi di desa selalu datang dengan cara yang sama—dingin, berkabut, dan sunyi. Gemuruh sungai di kejauhan terdengar konstan, seperti napas yang tak pernah berhenti. Rizal berjalan perlahan menuju surau tua, tangannya diselipkan ke dalam saku jaket. Udara pagi menusuk kulit, tapi pikirannya lebih sibuk dengan sesuatu yang lain.
Suara itu.
Ia tak bisa melupakannya. Bisikan lirih yang terdengar dari dalam surau kemarin masih menghantuinya. Mungkinkah itu hanya imajinasinya? Atau memang ada sesuatu di sana—sesuatu yang menunggunya?
Langkahnya terhenti saat melihat beberapa anak kecil di halaman surau. Mereka berlarian, tertawa, mendorong satu sama lain di atas tanah berumput yang becek karena embun. Ada sekitar lima anak, berusia delapan hingga sepuluh tahun, dengan pakaian sederhana dan wajah yang masih polos.
Salah satu dari mereka, seorang anak laki-laki bertubuh kurus dengan rambut acak-acakan, melihat Rizal dan menghentikan langkahnya. Anak itu menatapnya, ragu-ragu, lalu berbisik kepada teman-temannya. Seketika, semua mata tertuju padanya.
Rizal menghela napas pelan. Ia sudah terbiasa dengan tatapan itu—curiga, takut, atau sekadar penasaran.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya akhirnya.