Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Joko Tingkir bagian 28

11 Oktober 2025   16:28 Diperbarui: 11 Oktober 2025   16:28 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Joko Tingkir -- Bagian 28: Hutan yang Menyimpan Nama

Alas Mentaok menyambut Joko Tingkir dengan kesunyian yang tidak biasa.
Hutan itu bukan sekadar rimba; ia seperti ruang antara dunia nyata dan bayangan. Pepohonan tinggi menjulang, akar-akar menembus tanah seperti urat tua yang menahan rahasia masa lampau. Di beberapa tempat, kabut tipis menggantung, menutup jalur tanah yang berkelok, membuat siapa pun yang lewat merasa seperti berjalan di antara mimpi dan kenyataan.

Ki Wuragil berjalan di belakang, membawa obor kecil yang nyalanya menari. "Tempat ini," katanya pelan, "dulu disebut tanah hilang. Banyak prajurit Jipang tak pernah kembali setelah melintasinya."

Karebet hanya menjawab dengan tatapan. Ia tahu, Alas Mentaok bukan sekadar hutan biasa. Ini adalah panggung yang telah dipilih oleh takdir---dan oleh musuhnya.

Di tengah perjalanan, mereka menemukan sebuah sungai kecil. Airnya jernih, tapi arusnya berputar seperti lidah ular. Karebet berhenti, lalu berjongkok, menatap ke dalam air yang memantulkan wajahnya. Sesaat ia melihat dua bayangan: dirinya, dan sosok lain di belakang pantulan.

"Dia sudah di sini," katanya perlahan.

Langit mulai gelap ketika dari balik pepohonan muncul sosok berpakaian hitam, berjalan perlahan dengan langkah ringan seperti tidak menyentuh tanah. Wajahnya masih sama---wajah Karebet, tapi dengan sorot mata yang lebih dalam, lebih kelam.

"Selamat datang, Karebet," katanya. "Aku tahu kau akan datang. Karena tak ada yang bisa hidup tenang bila bayangannya masih berkeliaran."

"Dan tak ada bayangan yang bisa hidup bila matahari menatapnya," balas Karebet.

Bayangan itu tersenyum tipis. "Ah, matahari juga punya senja, Karebet. Dan senja adalah saat di mana bayangan paling panjang."

Keduanya saling menatap tanpa bicara. Alam di sekitar seolah menahan napas. Burung-burung berhenti berkicau, dedaunan tak lagi bergoyang.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Karebet akhirnya.

"Aku adalah yang kau buang di setiap doa," jawabnya tenang. "Aku bagian dari amarahmu, dendammu pada Jipang, rasa hausmu akan pengakuan. Kau mengingkari aku, tapi justru itulah yang membuatku kuat."

Karebet menarik napas panjang. "Kalau begitu, malam ini aku akan menebusnya. Bukan dengan membunuhmu, tapi dengan memaafkan."

Bayangan itu tertawa pelan, suaranya bergema di antara batang-batang pohon. "Memaafkan? Jangan berpura-pura menjadi suci, Karebet. Kau ingin menghapusku, bukan memaafkan."

"Tidak," kata Karebet. Ia menatap tanah, lalu kembali ke langit. "Aku ingin menyeimbangkanmu."

Hening sejenak. Lalu angin berembus kencang, seperti ada kekuatan yang mulai bergolak. Obor di tangan Ki Wuragil padam, menyisakan cahaya rembulan yang menetes di antara ranting. Dua sosok itu kini seperti cermin: satu dilingkari cahaya lembut, satu lagi diselimuti bayangan pekat.

Bayangan itu mengangkat tangan, dan dari tanah tiba-tiba muncul kabut hitam yang membentuk pusaran. "Inilah dunia yang kau buat, Karebet," katanya dingin. "Kerajaan tanpa takhta, kekuasaan tanpa batas---asal kau berani menyentuh kegelapan."

Karebet melangkah maju. "Aku memilih berjalan dalam terang, meski sinarnya membuatku buta."

Dengan satu hentakan kaki, ia menancapkan tombak kecil ke tanah. Cahaya keluar dari ujungnya, memecah kabut, membuat hutan bergetar. Bayangan itu menjerit pelan, tapi suaranya bukan kesakitan---melainkan kepedihan.

"Jika aku lenyap," katanya lirih, "kau akan kehilangan separuh jiwamu."

"Kalau separuh itu adalah kegelapan," jawab Karebet, "biarlah ia kembali ke bumi, tempat segala bayangan berasal."

Kabut pun meledak dalam cahaya. Angin berputar, membawa dedaunan beterbangan. Saat semuanya mereda, hutan kembali hening. Di tanah hanya tersisa bekas tapak kaki, satu saja---milik Karebet.

Ki Wuragil berlari mendekat, wajahnya tegang. "Kanjeng... apa yang terjadi?"

Karebet menatap langit, lalu menutup matanya sejenak. "Bayangan sudah pulang."

Keesokan paginya, mereka meninggalkan Alas Mentaok. Dari kejauhan, suara gamelan samar terdengar dari arah utara, seperti sambutan gaib bagi jiwa yang telah berdamai dengan dirinya sendiri.

Sebelum menaiki kuda, Karebet berkata lirih kepada Ki Wuragil, "Hutan ini kelak akan jadi tanah besar, tempat orang membangun kerajaan baru. Tapi ingatlah, Wuragil, kerajaan sejati bukan di atas tanah, melainkan di dalam diri."

Ia memandang ke arah timur, tempat matahari terbit perlahan, membelah kabut tipis yang tersisa.

Di sana, Joko Tingkir menatap fajar yang baru---dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak melihat bayangan di bawah kakinya.

Bersambung 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun