Joko Tingkir -- Bagian 25: Bayang di Balik Kabar
Angin barat membawa bau lembab sawah yang baru dibajak ketika kabar itu tiba di Pajang. Seorang kurir berkuda datang tergesa-gesa dari timur, debu menempel di wajahnya, dan mantel kulitnya tampak kering oleh perjalanan panjang. Ia tak sempat meneguk air saat disambut oleh prajurit penjaga regol.
"Utusan dari Jipang," katanya terengah. "Untuk Ki Gede Pemanahan."
Dalam pendapa yang teduh, Ki Gede Pemanahan sedang duduk bersila, diapit oleh anak buahnya. Suasana sore itu tenang, hanya suara serangga di kejauhan yang sesekali memecah diam. Saat surat dibacakan, matanya menatap jauh ke depan, melampaui kata-kata yang tertulis di daun lontar itu.
"Panarukan telah jatuh.
Joko Tingkir memenangi duel tunggal.
Penangsang menegaskan kekuasaan atas pesisir timur."
Pemanahan menutup surat itu perlahan, meletakkannya di atas meja kayu jati yang sudah berumur.
"Anak itu benar-benar seperti air," katanya lirih. "Tak bisa dicegah, hanya bisa diarahkan."
Di sisi kanan, Ki Panjawi berdeham. "Jadi sekarang, Jipang semakin kuat?"
Pemanahan tersenyum kecil. "Kuat, ya. Tapi terlalu cepat naik. Seperti pohon muda yang tumbuh di musim hujan---tinggi, tapi akarnya belum dalam. Itu sebabnya angin sedikit saja bisa merobohkannya."
Ia diam sejenak, lalu melanjutkan, "Joko Tingkir bukan orang yang lahir untuk tunduk di bawah siapa pun. Tak lama lagi, jalan hidupnya akan memaksanya berhadapan dengan Penangsang."
Kalimat itu menggantung di udara seperti doa yang belum selesai.
Di luar, awan hitam mulai menutup langit barat.
Beberapa hari kemudian, di istana Pajang, Sultan Hadiwijaya duduk di kursi tinggi, mengenakan kain hitam berhias benang emas. Di belakangnya, tirai sutra bergerak pelan tertiup angin sore. Di hadapan beliau, para pejabat kerajaan berdiri dengan wajah serius.
"Kabar dari Jipang sudah sampai?" tanyanya.
"Sudah, Kanjeng Sultan," jawab seorang abdi dalem. "Panarukan ditundukkan lewat duel tunggal."
Sultan terdiam, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran kursi.
"Joko Tingkir..." katanya perlahan, seperti menyebut nama yang membawa kenangan lama. "Aku ingat anak itu. Dulu di tepi Bengawan, dia hanya seorang perantau dari Pengging."
Ia menatap ke arah Pemanahan. "Apa pendapatmu?"
Pemanahan menjawab dengan tenang, "Dia berbakat, tapi terlalu cepat jadi legenda. Orang seperti itu berbahaya bagi penguasa yang tak berhati-hati."