Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Joko Tingkir Bagian 25

7 Oktober 2025   13:02 Diperbarui: 7 Oktober 2025   13:02 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko  Tingkir : skrinsyut 


Joko Tingkir -- Bagian 25: Bayang di Balik Kabar

Angin barat membawa bau lembab sawah yang baru dibajak ketika kabar itu tiba di Pajang. Seorang kurir berkuda datang tergesa-gesa dari timur, debu menempel di wajahnya, dan mantel kulitnya tampak kering oleh perjalanan panjang. Ia tak sempat meneguk air saat disambut oleh prajurit penjaga regol.
"Utusan dari Jipang," katanya terengah. "Untuk Ki Gede Pemanahan."

Dalam pendapa yang teduh, Ki Gede Pemanahan sedang duduk bersila, diapit oleh anak buahnya. Suasana sore itu tenang, hanya suara serangga di kejauhan yang sesekali memecah diam. Saat surat dibacakan, matanya menatap jauh ke depan, melampaui kata-kata yang tertulis di daun lontar itu.

"Panarukan telah jatuh.
Joko Tingkir memenangi duel tunggal.
Penangsang menegaskan kekuasaan atas pesisir timur."

Pemanahan menutup surat itu perlahan, meletakkannya di atas meja kayu jati yang sudah berumur.
"Anak itu benar-benar seperti air," katanya lirih. "Tak bisa dicegah, hanya bisa diarahkan."

Di sisi kanan, Ki Panjawi berdeham. "Jadi sekarang, Jipang semakin kuat?"
Pemanahan tersenyum kecil. "Kuat, ya. Tapi terlalu cepat naik. Seperti pohon muda yang tumbuh di musim hujan---tinggi, tapi akarnya belum dalam. Itu sebabnya angin sedikit saja bisa merobohkannya."
Ia diam sejenak, lalu melanjutkan, "Joko Tingkir bukan orang yang lahir untuk tunduk di bawah siapa pun. Tak lama lagi, jalan hidupnya akan memaksanya berhadapan dengan Penangsang."

Kalimat itu menggantung di udara seperti doa yang belum selesai.
Di luar, awan hitam mulai menutup langit barat.

Beberapa hari kemudian, di istana Pajang, Sultan Hadiwijaya duduk di kursi tinggi, mengenakan kain hitam berhias benang emas. Di belakangnya, tirai sutra bergerak pelan tertiup angin sore. Di hadapan beliau, para pejabat kerajaan berdiri dengan wajah serius.
"Kabar dari Jipang sudah sampai?" tanyanya.
"Sudah, Kanjeng Sultan," jawab seorang abdi dalem. "Panarukan ditundukkan lewat duel tunggal."

Baca juga: Joko Tingkir Bag 24

Sultan terdiam, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran kursi.
"Joko Tingkir..." katanya perlahan, seperti menyebut nama yang membawa kenangan lama. "Aku ingat anak itu. Dulu di tepi Bengawan, dia hanya seorang perantau dari Pengging."
Ia menatap ke arah Pemanahan. "Apa pendapatmu?"

Pemanahan menjawab dengan tenang, "Dia berbakat, tapi terlalu cepat jadi legenda. Orang seperti itu berbahaya bagi penguasa yang tak berhati-hati."

Sultan mengangguk perlahan. "Kau takut dia berpaling?"
"Tidak," jawab Pemanahan. "Saya takut dunia yang berpaling kepadanya."

Sultan Hadiwijaya tersenyum tipis, mata tuanya menyimpan kilat kebijaksanaan.
"Kadang dunia memang butuh orang seperti itu---agar keseimbangan tetap hidup."

Di tempat lain, di sebuah pondok sederhana dekat sungai, Joko Tingkir duduk termenung. Di hadapannya, bara api kecil menyala dalam tungku tanah. Angin malam mengibaskan rambutnya.
"Panarukan, Jipang, Pajang... semua menyimpan niatnya sendiri," katanya dalam hati.
Ki Ageng Pengging Sepuh menatapnya lama. "Kau mulai merasakan beban yang dulu tak kau pahami, Nak."
"Beban apa, Guru?"
"Beban seorang yang kelak tidak bisa berjalan sebagai dirinya sendiri, karena setiap langkahnya akan ditafsirkan sebagai langkah sejarah."

Hening. Hanya suara jangkrik dan desir air yang terdengar.
"Kalau begitu," kata Joko Tingkir perlahan, "biarlah aku berjalan tanpa niat menjadi siapa pun. Hanya menjalankan apa yang mesti dijalankan."
Ki Ageng tersenyum. "Itu ucapan yang bijak---tapi juga berbahaya. Karena orang yang berjalan tanpa niat, sering kali justru dituntun oleh takdir yang lebih besar dari dirinya."

Di luar, malam menurunkan embunnya.
Dari jauh terdengar suara kuda mendekat. Seorang pengintai datang membawa kabar baru---tentang pergerakan pasukan kecil dari barat, tentang Pajang yang mulai memperkuat jalur dagang, dan tentang surat rahasia yang dikirim ke Demak lama.
Joko Tingkir bangkit, menatap ke arah kegelapan.
"Kalau benar angin berembus dari barat," katanya pelan, "maka waktuku di timur sudah hampir selesai."

Ia menatap ke langit, ke bintang yang redup di antara awan.
"Setiap kemenangan membawa panggilan baru," gumamnya. "Dan aku belum tahu, apakah panggilan berikutnya akan membawaku naik---atau menjerumuskanku ke dalam sejarah yang tidak bisa kutolak."

Bersambung 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun