"Kalau separuh itu adalah kegelapan," jawab Karebet, "biarlah ia kembali ke bumi, tempat segala bayangan berasal."
Kabut pun meledak dalam cahaya. Angin berputar, membawa dedaunan beterbangan. Saat semuanya mereda, hutan kembali hening. Di tanah hanya tersisa bekas tapak kaki, satu saja---milik Karebet.
Ki Wuragil berlari mendekat, wajahnya tegang. "Kanjeng... apa yang terjadi?"
Karebet menatap langit, lalu menutup matanya sejenak. "Bayangan sudah pulang."
Keesokan paginya, mereka meninggalkan Alas Mentaok. Dari kejauhan, suara gamelan samar terdengar dari arah utara, seperti sambutan gaib bagi jiwa yang telah berdamai dengan dirinya sendiri.
Sebelum menaiki kuda, Karebet berkata lirih kepada Ki Wuragil, "Hutan ini kelak akan jadi tanah besar, tempat orang membangun kerajaan baru. Tapi ingatlah, Wuragil, kerajaan sejati bukan di atas tanah, melainkan di dalam diri."
Ia memandang ke arah timur, tempat matahari terbit perlahan, membelah kabut tipis yang tersisa.
Di sana, Joko Tingkir menatap fajar yang baru---dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak melihat bayangan di bawah kakinya.
Bersambung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI