Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Joko Tingkir Bagian 17

21 September 2025   07:42 Diperbarui: 21 September 2025   07:42 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko Tingkir: skrinsyut 

Joko Tingkir -- Bagian 17: Jalan Menuju Panarukan

Pasukan bergerak meninggalkan Demak, debu jalanan beterbangan di bawah derap kuda dan langkah kaki prajurit. Karebet menunggang di depan, wajahnya tegak namun pikirannya tak pernah lengah. Ia tahu, perjalanan ini bukan sekadar membawa panji Demak ke timur, tapi juga ujian pertama bagi dirinya sebagai pemimpin.

Di sepanjang jalan, rakyat keluar dari rumah-rumah bambu mereka. Ada yang melambaikan tangan, ada yang sekadar menunduk hormat. Sebagian mata menyimpan harap: semoga pasukan ini membawa ketenteraman, bukan sekadar perang. Karebet turun dari kudanya di beberapa desa, berbicara langsung dengan rakyat, menanyakan keadaan sawah, ladang, dan air. Para prajurit terkejut, jarang ada senopati mau membaur sedekat ini.

Namun di barisan belakang, bisikan lain berembus. Seorang bangsawan pengiring bergumam lirih, "Ia sibuk mencari simpati rakyat. Tapi apakah ia tahu medan Panarukan? Apakah ia tahu di sana utusan Jipang sudah menabur pengaruh?" Ucapan itu menyebar dari mulut ke mulut, menanam benih keraguan pada sebagian kecil prajurit.

Malam tiba, pasukan beristirahat di tepi hutan jati. Api unggun menyala, memantulkan cahaya di wajah para prajurit yang kelelahan. Karebet duduk bersama mereka, mendengarkan keluh kesah dan tawa sederhana. Namun, di balik kegelapan, seorang prajurit pengintai melapor: "Kakang Senopati, ada kabar dari pedagang. Katanya orang-orang Jipang telah lebih dulu singgah di Panarukan. Mereka membisikkan bahwa Demak hanya datang untuk merampas hasil bumi, bukan membawa keadilan."

Karebet terdiam sejenak, lalu menatap api unggun yang berderak. Dalam hatinya ia sadar, perang sesungguhnya sudah dimulai, bahkan sebelum pedang dihunus. Ini bukan hanya soal pasukan, tapi soal hati rakyat yang bisa condong pada siapa pun yang lebih dulu memberi keyakinan.

Ia lalu berkata lirih pada dirinya sendiri, "Inilah medan yang sesungguhnya. Menaklukkan hati manusia lebih sulit daripada menebas leher lawan."

Baca juga: Joko Tingkir Bag 10

Di kejauhan, hutan berdesir, seolah menyimpan rahasia yang belum terungkap. Perjalanan menuju Panarukan kian terasa berat, dengan bayang-bayang Arya Penangsang yang mengintai dari kegelapan.

Baca juga: Joko Tingkir Bag 6

Bersambung...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun