Intrik di Balairung
Istana Demak, pagi yang cerah. Burung-burung berkicau di halaman, tapi suasana Paseban Kecil terasa berat. Karebet, yang kini menyandang gelar Senopati Muda, duduk berdampingan dengan para adipati senior. Di hadapannya, Sultan Trenggana berbicara tentang rencana penyerbuan ke daerah timur yang masih enggan tunduk.
Namun bukan pidato Sultan yang menarik perhatian Karebet, melainkan tatapan-tatapan menusuk dari beberapa adipati. Ada yang menatapnya seolah ia anak kecil yang belum pantas duduk di situ, ada pula yang menatap dengan senyum getir, samar-samar menyimpan ejekan.
Seorang adipati tua berbisik kepada kawannya, cukup keras untuk terdengar:
"Anak desa sekarang duduk sejajar dengan bangsawan. Dunia memang sudah jungkir balik."
Karebet mendengar, tapi ia hanya menunduk. Dalam hatinya, ia tahu: medan perang di laut dan darat mungkin keras, tetapi medan intrik di istana jauh lebih licin dan berbahaya.
Bisikan Sunan Kudus
Selesai paseban, Karebet dipanggil secara khusus oleh Sunan Kudus. Lelaki itu terkenal cerdas, halus budi, tetapi tajam membaca politik.
"Karebet," ucap Sunan Kudus sambil menatapnya tajam, "kau sudah melangkah ke jalan yang tinggi. Tapi ingat, di sini bukan hanya pedang yang menentukan. Lidah lebih tajam daripada bilah keris. Banyak mata menunggu jatuhmu."
Karebet menjawab lirih, "Kanjeng Sunan, hamba tidak mengejar kedudukan. Hamba hanya menjalankan titah Sultan."
Sunan Kudus tersenyum samar. "Itu yang kau katakan. Tapi bagi yang lain, keberadaanmu adalah ancaman. Belajarlah mendengar lebih dari yang diucapkan. Diam bisa jadi lebih kuat dari seribu kata."