Sekembali ke Demak, laporan Karebet membuat Sultan Trenggana kagum. Bukan hanya karena misi dagang selamat, tapi karena Karebet tidak membeberkan pengkhianatan itu kepada publik. Ia memilih diam dan melaporkannya hanya kepada Sultan.
"Kau bukan hanya kuat, Karebet," ujar Sultan suatu malam di ruang dalam istana. "Kau juga tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Itu tanda pemimpin sejati."
Karebet menunduk. "Hamba hanya melakukan kewajiban."
Namun kabar kedekatan Karebet dengan Sultan semakin memanaskan iri hati Arya Penangsang. Dalam gelap, ia merancang siasat baru---bukan hanya untuk menjatuhkan Karebet, tapi juga mengacak-acak stabilitas Demak.
Langit sore di atas Demak memerah. Karebet berdiri di serambi masjid agung, menatap cakrawala. Angin membawa bisikan yang seolah berkata: "Perjalananmu belum selesai, Karebet. Di depan, darah akan tumpah, dan engkau akan berada di tengah badai."
Bersambung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
