Duel di Bengawan dan Jalan Menuju Demak
Air sungai bergolak, memercik ke segala arah. Tubuh Jaka Tingkir melesat lincah, setiap gerakan bagai bayangan harimau di hutan gelap. Keris pusaka di tangannya bukan sekadar senjata, melainkan perpanjangan dari napasnya sendiri. Tiga perampok sudah terkulai, tubuh mereka terbawa arus, mata mereka memandang kosong ke langit yang memerah.
"Setan alas! Siapa kau sebenarnya?!" teriak pemimpin perampok, matanya membelalak melihat kegesitan pemuda itu. Tangannya meremas gagang tombak, urat-urat menegang. Dengan geraman penuh amarah, ia melompat ke atas rakit, menancapkan tombaknya dengan tenaga penuh.
Brak! Bambu rakit bergetar keras. Pengayuh berteriak ketakutan, berpegangan pada tiang agar tidak tercebur.
Namun Jaka Tingkir lebih cepat. Dengan gerakan mendatar, ia menghindar dan menghantam gagang tombak lawan dengan kakinya. Tombak terpental, jatuh ke air. Dalam sekejap, kerisnya menempel di leher sang pemimpin. Ujung bilah dingin itu seperti bisikan maut.
"Bengawan ini bukan untuk menumpahkan darah demi kerakusan," ucap Jaka Tingkir lirih, tapi tajam. "Pergilah sebelum kusuruh arus yang menenggelamkan kalian."
Pemimpin perampok terdiam. Nafasnya terengah, peluh membasahi pelipis. Matanya menatap keris, lalu menatap wajah Jaka Tingkir yang begitu tenang, seolah tak pernah kenal takut. Sesaat kemudian, ia mengangkat tangan, memberi isyarat pada anak buah yang masih tersisa. Mereka satu per satu mundur, menyingkir tanpa sepatah kata. Hanya gemericik air yang tersisa, menyapu jejak darah yang tadi sempat mewarnai Bengawan.
Jaka Tingkir menarik napas panjang, lalu memasukkan kembali keris ke dalam sarungnya. Pandangannya kembali mengarah ke seberang, tempat tujuan yang belum kelihatan, namun jelas terasa memanggil.
"Teruskan perjalanan," ujarnya pada para pengayuh. Suaranya kembali tenang, seperti tak pernah ada pertempuran. Pengayuh-pengayuh itu mengangguk cepat, mengayuh dengan tenaga penuh, seolah ingin segera menjauh dari tempat maut itu.
Perlahan, tepian Demak mulai terlihat di kejauhan. Dari balik pepohonan, menara masjid agung tampak menjulang, dikelilingi rumah-rumah kayu dan aktivitas manusia yang kian ramai. Denting bedug menggema dari kejauhan, menyatu dengan suara angin yang membawa aroma tanah basah.