Jaka Tingkir Bagian 5: Ujian di Bengawan
Perahu kecil yang disiapkan Ki Ageng Tingkir telah menunggu di tepian. Beberapa batang bambu terikat rapi, membentuk rakit sederhana yang akan mengantar Mas Karebet menyeberangi Bengawan. Arus tampak tenang, namun di balik ketenangannya, tersembunyi pusaran maut yang sering menelan korban.
Jaka Tingkir melangkah mantap. Kain lurik yang melilit pinggangnya bergerak mengikuti irama angin sore. Di bahunya tersandang sebilah keris pusaka peninggalan Ki Ageng Tingkir, pamor yang berkilau samar di balik sarung kayu cendana. Ia menatap rakit, lalu kembali memandang sungai, seolah membaca tanda-tanda alam sebelum memulai perjalanan.
"Mas Karebet..." suara lirih memanggil. Ki Ageng Tingkir berdiri beberapa langkah di belakangnya, wajahnya teduh meski matanya menyimpan haru. "Ingat pesan Guru. Perjalanan ini bukan untuk menaklukkan orang lain, tapi menaklukkan dirimu sendiri."
Jaka Tingkir menunduk hormat. "Kula sembah nuwun, Guru. Titah panjenengan kula tindakaken." (Hamba ucapkan terima kasih, Guru. Perintah Anda akan saya jalankan.)
Ia pun melangkah naik ke rakit. Dua pengayuh segera mendorong bambu panjang, melepas ikatan pada tiang, dan perlahan rakit meluncur ke arus. Angin membawa aroma air sungai yang bercampur lumpur, dingin merayap ke pori-pori kulit.
Namun, belum jauh dari tepi, suara gemuruh terdengar dari balik semak di hulu. Dari bayangan rimbun itu, muncullah sosok-sosok bertubuh kekar, bersenjatakan tombak dan golok. Mereka berjumlah delapan orang, mata mereka liar menatap rakit yang ditumpangi Jaka Tingkir.
"Berhenti!" teriak salah seorang dengan suara parau. "Barang siapa hendak menuju Demak harus memberi upeti!"
Para pengayuh terperanjat, wajah mereka pucat pasi. "Perampok sungai!" desis salah satunya. Bengawan bukan hanya jalur air, tapi juga sarang kejahatan bagi mereka yang lengah.
Jaka Tingkir berdiri perlahan di atas rakit. Tatapannya menusuk seperti kilat sore. Ia tahu, inilah awal ujian. Bukan ujian dari arus Bengawan, tapi ujian dari manusia yang rakus. Dalam hatinya ia bergumam, 'Jika takdir menuntunku ke Demak, tak seorang pun bisa menghalangi.'