Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kastil Naga dan Taiyaki Terakhir di Kumamoto

27 Juli 2025   15:40 Diperbarui: 27 Juli 2025   15:40 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meskipun patung ini bisa dikunjungi kapan saja, waktu sore hari menjelang matahari terbenam memberi nuansa dramatis yang memperkuat kesan agung dari sosok Kato.
Melihat patung ini bukan hanya soal menyaksikan monumen. Ia adalah pengingat bahwa sebuah kota bisa dibangun dengan keberanian, visi, dan kerja keras. Bahwa sejarah bukan hanya tertulis di buku, tetapi juga terukir dalam bentuk patung yang menyapa setiap pejalan kaki.
Kato Kiyomasa bukan hanya bagian dari masa lalu Kumamoto---ia adalah jiwa yang terus hidup di tengah kota. Dan patungnya, setia berdiri, menatap kastel yang dulu ia bangun, dan masa depan yang terus tumbuh di sekelilingnya.

Suasana di sekitar kastil: dokpri 
Suasana di sekitar kastil: dokpri 

Di sekeliling saya, suasana senyap. Air di parit memantulkan cahaya jingga langit sore. Burung-burung kecil beterbangan pulang ke sarangnya. Saya duduk di sebuah bangku kayu, memandangi dinding batu yang mulai diselimuti bayangan. Kumamoto Castle memang tertutup sore ini, tapi di sinilah saya menemukan ketenangan.
Kembali ke Kota: Trem, Lampu Malam, dan Perut yang Mulai Menagih

Saat matahari tenggelam sepenuhnya, saya kembali ke halte dan kemudian kami naik trem menuju pusat kota. Tujuan berikutnya: mencari makan malam.
Trem berhenti di Torichosuji, dan dari halte kami menyebrang jalan memasuki  pertokoan yang terkenal: Shimotori Arcade. Ini adalah pusat perbelanjaan semi-tertutup dengan deretan toko, restoran, dan kios makanan ringan. Suasananya ramai, lampu-lampu neon menyala, musik dari toko elektronik berdengung lembut, dan aroma makanan menyeruak dari setiap sudut.

Mal: dokpri 
Mal: dokpri 

Sayangnya, mayoritas tempat makan di sini menawarkan menu khas Kumamoto yang tidak halal: tonkotsu ramen (ramen dengan kaldu tulang babi), dan basashi (sashimi daging kuda mentah).
Setelah berjalan agak jauh ke bagian yang lebih sepi, ada sebuah kedai kecil dengan papan menu bertuliskan gambar udon dan onigiri. Pemiliknya seorang ibu tua yang ramah. Saya bertanya perlahan dengan bahasa Jepang seadanya, memastikan tidak ada daging atau alkohol dalam supnya. Ia menjawab   sabar: "yasai dake desu"---hanya sayuran.

Akhirnya, kami memesan udon dengan kuah kombu dan topping tempura sayuran, serta dua onigiri isi umeboshi. Makanan datang dalam mangkuk sederhana, panas, dan mengepul. Rasanya ringan tapi mengenyangkan. Sambil makan, saya mengingat kembali sore tadi---bagaimana saya sampai ke gerbang kastel tapi tidak bisa masuk. Tapi entah kenapa, saya tidak merasa kehilangan. Justru merasa seolah sore ini sudah berjalan sebagaimana mestinya.

Shimotori di Malam Hari: Jalan yang Masih Terjaga
Setelah makan, kami  melanjutkan menyusuri Shimotori. Malam belum sepenuhnya larut. Anak muda berkumpul di depan toko game, suara tawa dari kedai izakaya terdengar dari kejauhan, dan seorang pemusik jalanan memainkan lagu lembut dari gitar tuanya. Saya membeli taiyaki (kue berbentuk ikan kakap) isi kacang merah dari sebuah kios kecil, lalu menikmatinya sambil berjalan menuju halte trem.
Setiap sudut kota ini punya ritmenya sendiri. Tidak terburu-buru, tidak lambat, hanya berjalan sesuai waktu. Seperti saya sore itu---tidak sempat masuk kastel, tapi justru bisa menyerap atmosfer kota dari sisi yang lebih tenang.
Penutup
Kumamoto Castle memang telah menutup pintunya saat saya tiba. Tapi justru karena itu, saya bisa melihat kastel dari sisi lain: dari luar parit, dari jalan panjang yang lengang, dari patung samurai yang tegak berdiri, dan dari kedai kecil yang menyediakan semangkuk udon hangat di tengah malam.
Saya jadi percaya, kadang sebuah perjalanan tidak berjalan sesuai rencana, justru agar kita menemukan cerita lain. Dan sore itu, Kumamoto tidak memberi saya tiket masuk, tapi memberinya dalam bentuk lain: ketenangan, kesederhanaan, dan langkah yang tidak sia-sia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun