Ada peta kawasan dan petunjuk arah tidak jauh dari halte dan juga di pagar yang memisahkan jalan dengan parit dan halaman kastel yang luas di sebelah kanan saya. Saya terus berjalan santai sambil menikmati pemandangan.
Suasana sore terasa khidmat, maklum tidak banyak orang yang lalu lalang di jalan berbatu yang khusus pejalan kaki ini.
Pohon-pohon besar di kanan-kiri jalan memayungi langkah saya, dan gemericik air dari parit di kejauhan memberikan nuansa yang tenang namun penuh makna. Parit dan tembok Kumamoto Castle berada di sebelah kanan saya.
Pohon-pohon zelkova dan camphor yang daunnya berkilau ditimpa matahari. Di sudut-sudut taman, bunga sarusuberi bermekaran dalam warna merah muda cerah, seperti percikan cat di atas kanvas hijau. Selain itu juga ada pohon ginkgo yang daunnya belum menguning, bayangannya tetap menyaput trotoar dengan tenang. Angin panas terasa melelahkan, tapi teduhnya pepohonan membuat saya bisa terus berjalan tanpa terburu-buru.
Kumamoto Castle: Gagah di Puncak Bukit, Terjaga Dalam Diam
Kumamoto Castle berdiri kokoh di atas bukit, dikelilingi oleh parit dan dinding batu berlapis. Tenshukaku---menara utamanya---masih tampak megah meski sebagian besar bangunan utama adalah rekonstruksi setelah gempa besar pada tahun 2016. Kastel ini dibangun pada awal abad ke-17 oleh Kato Kiyomasa, seorang jenderal yang terkenal dengan keahlian militernya, terutama dalam membangun sistem pertahanan yang canggih. Tak heran, saat Pemberontakan Satsuma tahun 1877, pasukan pemberontak yang dipimpin Saig Takamori tak mampu menembus pertahanan kastel ini selama lebih dari 50 hari.
Bagi saya, ini bukan hanya bangunan tua---ini adalah saksi sejarah keteguhan dan strategi.
Kisah ini saya baca pada papan informasi yang ada di dekat pintu masuk. Sayangnya ketika saya sampai di gerbang utama, satu kenyataan pahit menunggu: kastel sudah tutup.
Jam menunjukkan hampir pukul 18.00, sementara waktu kunjungan terakhir adalah pukul 16.00. Pintu masuk sudah digembok, petugas sudah tidak terlihat, dan suasana di area utama menjadi hening. Saya berdiri di depan gerbang, memandang ke atas menara kastel dengan sedikit rasa kecewa. Tapi kemudian saya sadar---kalau pintu utama tertutup, mungkin saatnya menyusuri sisi lain dari cerita ini.