"The months and days are the travelers of eternity..."
---Matsuo Bash, Oku no Hosomichi
Malam itu kami meninggalkan Nagasaki tanpa basa-basi. Tidak ada lambaian tangan, tidak ada gerbong penuh turis. Hanya langit yang mulai gelap, dan rangkaian rel Shinkansen yang mengarah ke timur. Tujuannya: Kumamoto, jantung historis Kyushu. Moda: tiga kereta, dua kali transit, dan satu malam yang tenang.
JR Kyushu Pass ada di tangan, sudah cukup untuk membawa kami sejauh manapun rel ini mengizinkan selama lima hari. Tidak perlu reservasi kursi---karena malam menawarkan ruang lebih lapang. Tidak ada rasa buru-buru---karena kami tak sedang mengejar, hanya ingin sampai.
Kamome: Sayap Pertama dari Nagasaki
Kereta pertama adalah Shinkansen Kamome, dinamai dari burung camar. Baru beroperasi sejak 2022, Kamome adalah wajah modern dari rel Nishi Kyushu. Elegan dan sunyi, dengan interior kayu yang hangat. Kami naik dari Stasiun Nagasaki, lalu duduk di kursi non-reserved dalam gerbong yang setengah kosong.
Kamome meluncur lembut, meninggalkan pelabuhan dan sejarah yang panjang, menuju perbukitan pulau Kyushu. Tak ada yang perlu dibicarakan. Hanya suara rel, dan lampu-lampu rumah yang bergerak mundur.
"Melalui malam musim gugur---
suara rel
mengingatkan umurku."
---Buson
Sekitar 30 menit kemudian, kereta tiba di Takeo-Onsen. Stasiun kecil yang bersih dan nyaris sunyi. Tidak ada seorang pun di peron, kecuali kami berdua.
Nama "onsen" memberi ilusi kehangatan, meskipun kami hanya transit. Tidak ada air panas, hanya pergantian kereta dengan menunggu beberapa menit saja.
Relay Kamome: Transisi yang Sunyi
Dari Takeo-Onsen, kami naik Relay Kamome menuju Hakata, tapi kami akan turun di Shin-Tosu. Ini kereta biasa, bukan Shinkansen, tapi tetap nyaman dan cukup cantik . Di luar jendela, kota-kota kecil dan ladang kosong menyapa dalam kesenyapan malam.
Kereta berjalan lebih lambat, tapi malam tak keberatan. Sebenarnya, dalam momen inilah saya paling merasa bepergian: ketika tidak cepat, tidak lambat, hanya bergerak pelan menembus waktu.
"Angin musim gugur---
taksi terakhir
menyala pelan."
---(gubahan bebas dari Chra)
Tak banyak penumpang. Mereka semua duduk tenang, beberapa tertidur. Hanya cahaya interior lembut yang menemani, dan suara roda besi yang menggesek rel seperti alunan mantera yang meninabobokan.
Sakura: Bunga yang Mengantar Sampai
Di Shin-Tosu, kami naik Shinkansen Sakura---kereta ketiga, sekaligus terakhir malam itu. Gerbong dengan warna dominan putih tampak modern. Di dalamnya, hanya beberapa penumpang. Jam sudah melewati pukul 9 malam. Sakura melaju bagai kilat, namun saya tak merasa dikejar.
Kami duduk dekat jendela. Di luar sana, lampu-lampu kota melesat mundur. Desa-desa di Kyushu selatan tetap terjaga: toko kecil masih buka, jalanan sempit tak pernah benar-benar gelap.
Shinkansen ini seperti membawa saya kembali ke dalam diri. Di luar, pulau Kyushu. Di dalam, ingatan.
Tiba di Kumamoto: Antara Rel dan Langit
Hampir pukul 10 malam, kereta tiba di Stasiun Kumamoto. Stasiun modern, bersih, dan... sepi. Mungkin karena ini bukan Tokyo, bukan Osaka. Ini Kumamoto---tempat kastil tua berdiri dan waktu melambat.
Di depan stasiun, tidak ada taksi yang menunggu. Saya berdiri 10 menit, menatap kosong ke arah jalanan kota. Tidak ada yang terburu-buru. Bahkan udara pun terasa pelan.
"Jalan musim gugur---
tak kukenal siapa pun,
tapi aku sampai."
---Bash
Akhirnya sebuah taksi berhenti. Sopir tidak banyak bicara. Mungkin tidak perlu. Perjalanan ke hotel hanya memakan waktu lima menit.
ANA Crowne Plaza: Lantai 18 dan Langit Baru
Hotel saya malam itu: ANA Crowne Plaza Kumamoto New Sky. Gedungnya menjulang di pinggir sungai Shirakawa, tidak jauh dari jantung kota. Kami naik lift ke lantai 18, saya lihat tombol lift, angka 25 yang paling tinggi.
Di kamar, jendela kaca besar langsung menghadap ke sungai dan kota. Lampu-lampu kecil di kejauhan seperti peta bintang yang bersandar di bumi. Di seberang sana, Kastil Kumamoto mungkin berdiri dalam gelap, diam-diam menjaga warisan.
Saya duduk di kursi dekat jendela. Tidak menyalakan TV, tidak membuka ponsel. Hanya diam dan menikmati suasana malam.
Penutup: Malam yang Menjadi Milik Sendiri
Tiga kereta. Dua transit. Satu malam yang panjang tapi tidak melelahkan.
Perjalanan dari Nagasaki ke Kumamoto tidak spektakuler. Tapi justru itu keindahannya. Ia tidak sibuk membuat diri terkesan, ia membiarkan diri ini merasa. Di tengah gerbong, kursi kosong, taksi yang ditunggu, dan jendela hotel lantai 18---semuanya memberi ruang untuk sekadar merenung.
Dan kadang, itulah yang paling kita butuhkan dari sebuah perjalanan: ruang untuk tiba, sebelum benar-benar sampai.
Kumamoto di awal musim panas.
Y
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI