Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Clean Wage, Sistem Gaji Pejabat di Singapura

16 Juli 2025   10:22 Diperbarui: 16 Juli 2025   10:22 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Ada Menteri atau Wamen Jadi Komisaris?
Jawabannya sangat tegas: tidak ada. Di Singapura, nyaris mustahil seorang menteri atau wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN atau perusahaan milik negara.
Mengapa demikian?
Pertama, konflik kepentingan dihindari secara sistemik. Seorang pejabat memang bertugas menyusun kebijakan yang mungkin menyentuh kepentingan BUMN, tapi mereka tidak boleh duduk langsung di dalam struktur perusahaan yang diawasi. Prinsip yang mereka jaga sangat ketat: regulator tidak boleh sekaligus jadi operator.
Kedua, karena gaji para menteri dan pejabat publik di Singapura sudah sangat tinggi dan komprehensif, maka tidak ada justifikasi moral, etika, atau administratif untuk mencari penghasilan dari tempat lain.
Ketiga, transparansi dijaga total. Semua jabatan tambahan dan besaran penghasilannya diumumkan secara publik. Kalaupun ada jabatan tambahan bersifat ex-officio, maka tidak disertai bayaran tambahan, dan hampir selalu bersifat seremonial atau teknis yang non-remuneratif.
Singapura memilih jalan yang jauh lebih tegas: kalau mengabdi, maka negara akan membayar Anda dengan cukup. Tapi bila Anda merasa belum cukup dan masih ingin mencari tambahan dari luar sistem, maka Anda belum siap mengabdi, dan sebaiknya mengambil jalan sebagai pengusaha saja --- bukan pejabat publik.

Kecil Jadi Mudah Diatur
Banyak orang mungkin berkata bahwa mengelola Singapura itu mudah karena negaranya kecil. Tapi mereka lupa bahwa Deng Xiaoping, sang arsitek kebangkitan ekonomi Tiongkok, pernah mengirim delegasi khusus ke Singapura --- bukan untuk belajar cara menang perang, tetapi untuk mempelajari bagaimana negara kecil ini bisa membangun birokrasi yang bersih, meritokratis, dan efisien.
Hasil dari pelajaran itu adalah lahirnya kawasan industri seperti Shenzhen, Zhuhai dan lainnya yang kemudian menjadi simbol meroketnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dalam empat dekade terakhir.
Jadi pertanyaannya bukan soal besar atau kecilnya negara. Pertanyaannya sederhana: apakah kita mau atau tidak.

Gaji Besar Itu Bukan Soal Kemewahan
Sistem penggajian di Singapura memang kelihatannya besar, tetapi justru karena besar, ia tidak rumit dan tidak menyisakan ruang abu-abu. Gaji tinggi, ya, tapi cuma satu.
Semua transparan, tanpa embel-embel, tanpa fasilitas gelap, tanpa honor siluman, dan karena itu, publik pun mempercayai mereka.

Pertanyaan Terakhir
Jadi, bagaimana menurut Anda?
Apakah kita masih boleh belajar dari Singapura?
Ataukah kita justru lebih takut --- bukan takut pada sistem mereka, tapi pada cermin yang mereka sodorkan?
Jawabannya, seperti biasa, kami serahkan pada pembaca.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun