Pagi itu di Alfarnelos dingin tapi cerah. Udara belum benar-benar menggigit, tapi cukup menusuk untuk membuat saya mengenakan jaket tebsl sebelum meninggalkan penginapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya di Lisboa, saya berjalan kaki menuju stasiun metro Alfarnelos dengan langkah santai.
Hari itu saya punya rencana kecil yang terasa besar: ke Sintra. Nama kota inad pertama kali saya kenal sebagai nama sebuah hotel di Makau.Kota dongeng itu telah lama memanggil-manggil dari kartu pos dan cerita wisatawan lain, tapi baru sekarang saya benar-benar sempat menjawab panggilannya.
Metro jalur azul atau biru mengantar saya dari Alfarnelos ke Reboleira---hanya beberapa stasiun, cepat dan mulus. Tujuan saya bukan Reboleira, tapi dari sanalah saya bisa menyambung dengan kereta regional CP (Comboios de Portugal) menuju Sintra.
Saya menyusuri lorong menuju stasiun CP dan langsung merasakan kontrasnya: sunyi. Tak ada hiruk pikuk, hanya mesin tiket berdiri membisu dan satu atau dua orang melintas seperti bayangan.
Saya membeli tiket pulang-pergi (ida e volta) dari mesin---cukup murah hanya 4,60.
Stasiun Reboleira masih terasa lengang pagi itu, hanya ada suara burung dan desiran kereta yang kadang melintas di jalur seberang. Saya datang agak awal, berharap bisa duduk tenang sambil menunggu kereta menuju Sintra. Tapi begitu turun ke peron bawah tanah, saya hampir tak melihat siapa pun. Beberapa bangku kosong berjejer rapi, tapi udara dingin pagi membuat saya memilih berdiri saja sambil berjalan pelan di sepanjang platform.
Saya sempat melihat jam dinding---jarumnya nyaris ke angka sembilan. Masih ada waktu lima belas menit sebelum kereta datang. Saya menatap rel, lalu langit yang tampak samar lewat atap stasiun. Hanya saya... sampai saya menoleh ke kiri dan melihat seorang gadis muda berdiri agak jauh, dengan jaket dan ransel di punggungnya.
Dia tampak seperti pelancong juga. Rambutnya dikuncir ke belakang, dan wajahnya---wajah Asia---membuat saya secara spontan tersenyum kecil. Mungkin karena merasa senasib sebagai sesama "orang Timur" di tanah Eropa ini, saya pun mendekat dan menyapa pelan.
"Bom dia," kata saya.
Dia menoleh cepat dan tertawa kecil. "Bom dia," balasnya. Tapi kemudian dia melanjutkan dengan bahasa Inggris, "Are you also going to Sintra?"
Dan percakapan itu pun mengalir begitu saja. Ternyata namanya Wang---kalau saya tidak salah dengar, karena dia mengatakannya dengan sedikit bergumam. Dia berasal dari Taiwan, dan sedang menjalani program latihan basket di Portugal selama beberapa bulan. Ini adalah hari liburnya, dan ia memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian ke Sintra.
"Have you been to Sintra before?" dia bertanya.
Saya menggeleng, dan kami pun tertawa bersama. Ternyata ini juga pertama kalinya bagi dia. Kami membicarakan banyak hal---tentang cuaca yang lebih dingin dari yang kami kira, tentang betapa sepinya stasiun pagi itu, dan tentang kereta yang katanya datang setiap 20 menit, tapi rasanya seperti sejam.
Dia tampak ceria, senyumnya hangat dan terbuka. Kacamatanya bundar, memberi kesan cerdas, dan dia mengenakan jaket luar yang warnanya mencolok, seakan tak peduli pada tren, hanya pada kenyamanan. Kami berdiri berdampingan, membicarakan perjalanan, tempat-tempat yang ingin dikunjungi, dan sedikit tentang hidup kami masing-masing. Lucu juga, kami berbicara dalam bahasa Inggris, dua orang Asia dari dua dunia berbeda, saling berbagi kisah di stasiun kecil Portugal.
Saya sempat bertanya, "Do you like Portugal?"
Dia menjawab dengan cepat, "I love it! People are kind, and I like the slow pace... also the pastel de nata," ujarnya sambil tertawa lagi.
Waktu berjalan cepat saat ada teman bicara. Ketika kereta CP berwarna merah-putih itu akhirnya datang, kami naik dan duduk bersebelahan di dalam gerbong yang hampir kosong. Dari balik jendela, pemandangan pinggiran kota Lisboa bergerak mundur perlahan, dan kami masih terus berbicara---tentang Lisbon, tentang Taiwan, tentang bahasa Portugis yang sama-sama belum kami kuasai, dan tentang alasan masing-masing kami menyukai perjalanan soliter.
Gadis Taiwan itu duduk di samping saya, kami bagaikan ayah dan anak, Terkadang Ia bercerita, kadang diam menikmati pemandangan.