Mohon tunggu...
Tatiana Dayana
Tatiana Dayana Mohon Tunggu... Buruh - Makhluk Neverland

Aku bukan penikmat rindu, kopi, senja. Aku penikmat Kamu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Romansa Kelabu

22 Juni 2019   19:40 Diperbarui: 22 Juni 2019   19:41 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Duduk ditemani secangkir teh manis, aku akan bercerita tentang pria humanis berkumis tipis.

Meruntih benang dari siklus juang dan mengajak berkomitmen pulang.

Subuh itu, dering notif media sosial menggugah aku menjelajahinya. Memuakkan sekali , bahasan pemilihan calon penguasa. 

Dari layar 5 inchi itu, ada sesorang yang dulu ku kagumi. Tepat sekali, ini adalah celah untukku menyelami sisi hidupnya (lagi). Tidak bermaksud mengusik, hanya saja rindu itu bersemi kembali.

Siklus Juang Pertama (2013)

"Mengagumi seseorang dari kejauhan, apakah suatu masalah ?" aku kepada karibku yang sedang sibuk memetik senar gitar

"Salah sih, nanti malah galau" sahutnya 

Sebenarnya, aku juga sadar dirinya tidak mungkin menoleh aku. Namun kebodohan yang selalu ku bawa ini, membuat aku lancang mencari tahu semua tentang dirinya dari layar 2,4 inchi Blackberry Arsmstrong. Ah, semakin aku penasaran dengan sosoknya yang tidak ku kenali.

"Udahlah, mending ikut aku" ajaknya

"Oke, jam 5 sore ya" jawabku

Benar-benar jatuh hati. Ku stalking terus beranda facebooknya. Ku curi setiap fotonya. Hahaha, mengagumi dan jatuh hati dalam diam.

Agri, karibku itu kerap kali menjadi peneduh ku saat kasmaran begini. Kata-kata yang selalu ku ingat "Jangan memendam, jangan juga mendalam" Baik lah Gri, selalu ku ikuti bagaimana saranmu.

Dua jam sudah menunggu jemputan Agri yang mengajakku menonton acara musik yang sedang hits di jaman SMAku dulu. Saat datang, alasan yang membosankan "aku tadi nunggu uang jajan". Aihhh, tidak berubah juga ternyata si kutu kupret ini. Setelah sampai, ya acara ini seperti acara-acara sebelumnya. Aku tidak begitu euforia, tidak juga merasa ini biasa. Sebagai hiburan saja.

Agri menghampiriku dengan penuh keringat setelah lelah berjingkrak-jingkrak dengan kumpulan orang-orang di depan panggung. 

"Ikut aku" dengan menarik tanganku 

"kemana sih, aku capek" 

"Lihat tuh, idolamu" ia menunjuk ke arah laki-laki yang ku kagumi itu

Bedebah, ia terlihat sibuk dengan teman-temannya. Ingin sekali rasanya aku menyapa "Hai, aku suka kamu". Tapi itu tidak mungkin. Kenapa ? Aku tidak suka melihat wanita di sebelahnya. Menurut hasil stlakingku, wanita itu pacarnya. 

Baru ku tahu dari Agri, ia juga manggung diacara ini. Ku tunggu di pinggiran panggung dengan tangan yang dingin dan hati yang bergejolak. Ia lewat di depanku dan aku memberikan senyum. Tapi ia sedingin tanganku. Aku benar-benar hanya dianggap pajangan. Pupuslah, benakku.  Melihat aku yang diam dan tertunduk malu, Agri mengelus pundakku.

"Aku gak tega liat kamu nunda terus nyapa dia. Aku gak tega liat kamu cuma mandangin dia pas manggung. Aku gak tega liat kamu cuma mimpi, bangun sih kejar dia"

Kata-kata Agri itu kembali melintas diotakku sampai saat ini.

Setelah sekian lama, dia yang terus ku kagumi menghilang. Baru ku tahu juga ia sudah jauh di seberang Kalimantan. Bukan dari hasil stalking beranda facebooknya atau cerita dari Agri. Tapi dari salah seorang yang begitu dekat dengannya. 

Aku yang merasa tidak ada harapan juga turut berhenti mencari tahu lagi tentang dirinya di 2016. Meskipun masih ku ingat jelas tulisan nama seseorang di tangannya dan cerita haru seseorang lainnya yang menangis saat menghantar dia di pelabuhan. 

Aku yang bukan apa-apa ini juga tidak mau terjebak pada sosoknya. 

Namun, 2017 ia kembali memposting lukisan wajah wanita berkacamata. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, ya karena aku memang bukan siapa-siapa.

Perasaanku untuknya perlahan menghilang. Apalagi banyak sosok-sosok lainnya yang menggantikan dia.

Psikometri

Aku asing dengan kata itu. Jangankan memahami, tahu kata-kata itu juga baru tadi. Dari mana ? Percaya atau tidaklah kalian, wahai para pembaca. Dia menyapaku! Tepatnya 17 April 2019. Tidak usah ku ungkap percakapan basa-basi kami, yang jelas dia yang dulu memulai. Awalnya ku urungkan niatku untuk membalas pesannya. Namun, otakku memberi arahan "balas, balas, balas".

Berdasarkan arahan otakku. Aku menceritakan bagaimana kehidupanku kini.  Dia juga berbagi cerita kenapa menyapa. Katanya, aku ini langka dan perlu dilestarikan. 

Selang beberapa waktu, aku benar-benar tidak percaya. Ia meminta temu. Aku yang semula menutup rindu malah sesak menahan rayu. 

Hari itu, pertengkaran pikiran adalah kenikmatan. Isi otakku, temu hanya asap yang mengepul dan lekas menghilang. Terlanjur hidup di tanah yang punya kultur eksklusif. Terlanjur hidup diantara kepala-kepala yang menganggap aneh dua insan yang tiba-tiba bertegur sapa padahal belum kenal. 

Tiga malam adalah awal pejumpaan kami, bertukar pikiran dan menikmati malam.

Lalu ia mengajak temu lagi, sepekan bersamanya di titik nol equator.

Sepekan itu, isi otakku salah. 

Ia yang ku duga dulu adalah lelaki pada umumnya, ternyata berbeda. Ia realistis, humanis, dan benar-benar membuat aku jatuh hati lagi.

Namun sayang, dengan kondisi ku ia tidak mungkin benar-benar ku miliki. Tapi ia benar-benar tulus mengungkapkan isi hatinya.

Aku terus saja berdalih mengkhianati diri dan keadaan.

Aku seperti berada disebuah jurang, kemudian angin membuat aku jatuh. 

"Kenapa kamu gak mau ngetuk sedari dulu, kasihku?" dengan tatapan manisnya ia berucap seperti itu

"kamu udah ada tamu waktu itu" jawabku

Ia lantas menuliskan beberapa sajak untukku, mengungkapkan isi hatinya melalui tulisan.

Aku penikmat kopi, kau pun sama.

Tapi kau berlalu pergi setelah kau rasakan nikmatnya

Sementara aku bertahan sampai kau datang, 

Menikmatinya lagi

Aku yang hanya bisa diam, meratapi sesal atas segala kondisiku kini. Aku ingin bercerita, tapi aku tidak mau ia berlalu pergi. Sudahlah, biar ia tahu sendiri nanti.

can you break your plan?1 week. Ight?

Semakin gila rasanya aku ini. Apa lagi saat malam yang tidak bisa ku ungkapkan beberapa kejadian yang ku lewati bersamanya. Tidak merujuk pada hal yang begituan. Tapi, di depannya aku menangis haru melihat tatapannya. Ia menyebut aku ini Kasih.

"Kasihku, bagaimana kalau aku tidak bisa berhenti mencintaimu?"

Aku kembali terpaku dan kaku enggan berucap. 

Aku malah memaki keadaan dan waktu. Detak jantungku ku tidak biasa saja. Berada diketidakadaan harapan atas pintanya. Sungguh mati, aku seperti orang tolol.

Perlahan, mulai ku ungkap juga kondisiku sebenarnya. Namun, ia malah berucap "..Karna cinta dan sayangku lebih besar daripada kekecewaan itu".

Aku mengutuk diriku dan meminta waktu yang dulu kembali. 

Meruntih Benang

Aku memang pecundang disetiap babak hidupku ini, seringkali mengkhianati diri sehingga aku juga luka oleh diriku sendiri. 

Kembali ku ingat kata-kata Agri dulu. Coba saja, ku ikuti. Tidak mungkin aku dihantui rasa sesal begini.

Ah, sudahlah. Harus kujalani dulu hubungan ini. Sampai kapan aku juga tidak tahu. Aku sudah membawa diri terlalu dalam. Bahkan saat ia pulang, aku meminta ia kembali hadir di kota ini.

Sungguh, bersembunyi dari sorot mata mereka membuat aku lepas kendaliPeluk aku, sehangat yang kamu bisaBuat aku lupaNanti, kita tentukan saatnya..(jerit hatiku, 18/05/2019)

Aku bukan lagi sekadar pengangumnya, aku sudah jadi pecandu hadirnya. 

Tidak lama kemudian ia kembali datang ke kota ini. Kali ini aku semakin menjadi. Kami bercumbu dan melumat rindu dengan rasa yang kian menggebu. Tapi aku menjanjikan kefanaan untuknya.

Ia malah ku buat luka dengan segala retorika yang ku ucap. Padahal, nurani ini memang ingin terus bersama. Aku memang ingin "pulang" dan menentap. Tapi bagaimana? Aku tidak mau omongan keluarga dan tetangga menambah luka.

Ku akui aku memang mencintaimu. Kasihku! Tapi bagaimana dengan keadaanku ini?Mau kah kamu menerima segala kenyataan yang ada ?Atau, pergi saja. Banyak yang menjanjikan diluar sana.Bukan aku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun