Mohon tunggu...
Tasya Eka Wulandari
Tasya Eka Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiwa

Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Foodie

"Kuliner Adalah Bahasa Universal: Mari Belajar Menghargainya"

18 September 2025   19:27 Diperbarui: 18 September 2025   19:29 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kuliner Nusantara (Sumber: Ariyani Tedjo/Shutterstock )

Indonesia memiliki kekayaan kuliner yang sangat mencerminkan budaya, sejarah, dan kearifan lokal setiap daerah. Makanan seperti gudeg, papeda, dan tempoyak bukan hanya soal rasa, tapi juga bagian dari identitas budaya yang layak dihargai.

Sayangnya, di era digital, masih banyak orang yang dengan mudah menghina makanan daerah hanya karena tampilannya atau aromanya, bahkan tanpa pernah mencicipinya. Komentar negatif seperti ini bisa menyakiti dan merendahkan nilai budaya di balik makanan tersebut.

Sikap seperti itu mencerminkan kurangnya empati dan wawasan budaya. Tidak suka boleh, tapi bukan berarti boleh menghina. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membangun pola pikir yang terbuka dan saling menghargai. Menghargai makanan berarti menghargai budaya dan keberagaman itu sendiri.

Makanan Lebih dari Sekadar Rasa

Setiap makanan pasti memiliki cerita tersendiri bagaimana makanan tersebut muncul dan apa keterkaitan makanan tersebut dengan wilayah tersebut. Misalnya, papeda dari Papua yang dibuat dari sagu adalah cerminan bagaimana masyarakat setempat hidup berdampingan dengan alam. Gudeg dari Yogyakarta yang memiliki filosofi cerminan nilai-nilai kehidupan dalam budaya Jawa, yaitu kesabaran, ketelitian, dan ketenangan dalam proses memasaknya yang lama.

Lalu ada juga dengan kepintaran masyarakatnya dalam hal menyimpan makanan agar tidak mudah basi, Tempoyak dari daerah Sumatra. Makanan ini adalah salah satu Langkah cerdik masyarakat dalam mengolah dan mengawetkan sumber daya alam (durian) agar tidak terbuang sia-sia, serta penanda warisan budaya kuliner yang telah menyebar melalui migrasi dan adaptasi di berbagai daerah.

Jadi, ketika kita mencicipi makanan dari daerah lain, kita sebenarnya sedang “membaca” bagian dari sejarah dan kebudayaan mereka. Maka, tak pantas rasanya jika kita langsung menghina hanya karena tidak cocok di lidah kita karena semuanya lahir dari proses panjang yang melibatkan nilai budaya, lingkungan, dan kreativitas.

Selera Boleh Beda, Tapi Tetap Hormat

Tidak semua orang bisa langsung suka dengan rasa yang asing. Itu wajar. Tapi perbedaan selera bukan alasan untuk melontarkan komentar negatif. Ungkapan seperti "tidak cocok di lidah saya" jauh lebih bijak dibandingkan berkata "makanannya menjijikkan".

Menghargai selera orang lain adalah bagian dari sikap dewasa dan terbuka. Apalagi di Indonesia, yang punya ratusan suku dan budaya, menghargai perbedaan dalam hal makanan adalah langkah awal untuk membangun toleransi yang lebih luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun