Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demi Uang Jajan, Anak-Anak ini Rela Mengecat Seluruh Badan

15 Desember 2019   15:14 Diperbarui: 15 Desember 2019   19:09 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.pri Bersama @Eza yang mengecay selutuh badan

Sore menjelang,  kawasan Basuki Rahmat Jakarta Timur dipastikan kian padat kendaraan dan para pejalan yang berlalu lalang. Sedari saya memasuki salah satu pusat perbelanjaan di kawasan tersebut, mata saya tertuju pada warna metalik yang melekat pada sekujur badan 2-3 orang anak yang duduk di tepi trotoar. Saya sempat membagi beberapa keping uang logam pada masing-masing kaleng bekas cat yang mereka pangku atau sodorkan ke hadapan orang yang melintas. Rasa hati ingin berhenti dan menyambangi anak-anak tersebut, apa daya saya terikat dengan sebuah janji menemui salah satu  rekan kompasianer.

Meski langkah kaki telah  menjauhi mereka, namun sejujurnya hati dan rasa penasaran saya tentang keberadaan mereka tak mudah berlalu begitu saja. Ah, ada-ada saja ulah mereka mencari uang jajan di ibu kota desir hati berkata demikian. Jika pada umumnya kita melihat anak-anak menjajakan tissue atas nama mencari uang jajan. Kali ini totalitas anak-anak yang menjadikan ujung kaki hingga ujung rambut mereka lengket oleh menempelnya cat. Sungguh bukan hal biasa. 

1 jam lebih berlalu. Saya telah  memenuhi janji saya dan saatnya meninggalkan pusat perbelanjaan dengan langkah riang. Dengan modal hape yang telah terisi  pada kisaran 10 %, mendekati anak-anak tadi menjadi agenda tersendiri. Dari Kompasianer Eka Murti saya mendapatkan sedikit keterangan,bahwa bukan hanya anak-anak saja yang melakukan hal serupa melainkan terkadang rombongan emak hingga kakaknya yang telah berusia. Dan benar saja, dari sebrang jalan saya melihat dua sosok dewasa yang tubuhnya berlumuran cat dengan warna yang sama,Perak atau akrab juga disebut Metalik. 

 Kedua perempuan dewasa bertubuh gemuk mengajak anak perempuan yang tengah bersama dua anak laki-laki berwarna serupa. Tak lama mereka tidak terlihat, menghilang dari pandangan mata, entah ke arah mana. Sementara dua anak laki-laki berbadan metalik masih berada di tempat semula. Aku mendekat. Kembali aku sodorkan kepingan uang logam, sekedar membuka percakapan. 

"Siapa namamu?"

"Idan" (bukan nama sebenarnya), jawabnya singkat

Dari bahasa tubuhnya,  Idan kurang nyaman dengan kehadiran saya yang tampak antusias untuk mengorek keterangan darinya. Dia berulang kali beringsut mencoba menjaga jarak. Sorot matanya cukup tajam menyiratkan kesan tidak suka ditanya-tanya. Ah tatapan mata demikian dalam istilah Jawa sering disebut dengan ''Mencureng". Berhati-hati saya mengambil foto Ildan dari jarak yang membuatnya makin memasang muka masam. Dari postur tubuhnya, Idan lebih tinggi dari satu anak lainnya. Usianya kira-kira 10-11 tahun.Sebelum menjauh dan mencoba mendekati sosok anak yang duduk terpisah dari Idan, saya melongok kaleng yang idan pegang. Tidak penuh memang, tapi tampak lembarang uang Rp 2000 kisaran belasan lembar dengan beberapa kepingan uang koin lainnya.

Idan dan wajah mencurengnya. Dok.pri
Idan dan wajah mencurengnya. Dok.pri
dok.pri Kaleng Berisi Uang dalam pangkuan Idan
dok.pri Kaleng Berisi Uang dalam pangkuan Idan
Keyakinan bahwa anak yang lebih kecil baik secara umur atau perawakan dari Idan  sedikit lebih ramah, terbukti. Lagi-lagi pancingan uang koin yang masuk dalam kaleng di pangkuangnya menjadi pembuka. Eza (bukan nama lengkap), begitu dia menjawab pertanyaan terkait namanya. Eza tampak malu-malu dalam menjawab pertanyaan, tapi setidaknya wajah dan sikapnya lebih menerima kehadiran saya untuk berada di dekatnya.Saya menebak, usianya berkisar 6-8 tahun

"Sekolah enggak nih?, kelas berapa?" saya  gencar bertanya sembari mengamati gerak geriknya. Tangannya terus saja mendekap kaleng. kadang sesekali mengorek isi kareng yang berisi uang yang didapatnya dari orang-orang yang melintas.

"Sekolah, eh enggak" Jawab Eza tidak konsisten

"kelas dua" matanya menatap lebar-lebar meski terkesan sayu . Saya membiarkan jawabannya berlalu, untuk kemudian melanjutkan pada percakapan lain

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun