Sore menjelang,  kawasan Basuki Rahmat Jakarta Timur dipastikan kian padat kendaraan dan para pejalan yang berlalu lalang. Sedari saya memasuki salah satu pusat perbelanjaan di kawasan tersebut, mata saya tertuju pada warna metalik yang melekat pada sekujur badan 2-3 orang anak yang duduk di tepi trotoar. Saya sempat membagi beberapa keping uang logam pada masing-masing kaleng bekas cat yang mereka pangku atau sodorkan ke hadapan orang yang melintas. Rasa hati ingin berhenti dan menyambangi anak-anak tersebut, apa daya saya terikat dengan sebuah janji menemui salah satu  rekan kompasianer.
Meski langkah kaki telah  menjauhi mereka, namun sejujurnya hati dan rasa penasaran saya tentang keberadaan mereka tak mudah berlalu begitu saja. Ah, ada-ada saja ulah mereka mencari uang jajan di ibu kota desir hati berkata demikian. Jika pada umumnya kita melihat anak-anak menjajakan tissue atas nama mencari uang jajan. Kali ini totalitas anak-anak yang menjadikan ujung kaki hingga ujung rambut mereka lengket oleh menempelnya cat. Sungguh bukan hal biasa.Â
1 jam lebih berlalu. Saya telah  memenuhi janji saya dan saatnya meninggalkan pusat perbelanjaan dengan langkah riang. Dengan modal hape yang telah terisi  pada kisaran 10 %, mendekati anak-anak tadi menjadi agenda tersendiri. Dari Kompasianer Eka Murti saya mendapatkan sedikit keterangan,bahwa bukan hanya anak-anak saja yang melakukan hal serupa melainkan terkadang rombongan emak hingga kakaknya yang telah berusia. Dan benar saja, dari sebrang jalan saya melihat dua sosok dewasa yang tubuhnya berlumuran cat dengan warna yang sama,Perak atau akrab juga disebut Metalik.Â
 Kedua perempuan dewasa bertubuh gemuk mengajak anak perempuan yang tengah bersama dua anak laki-laki berwarna serupa. Tak lama mereka tidak terlihat, menghilang dari pandangan mata, entah ke arah mana. Sementara dua anak laki-laki berbadan metalik masih berada di tempat semula. Aku mendekat. Kembali aku sodorkan kepingan uang logam, sekedar membuka percakapan.Â
"Siapa namamu?"
"Idan" (bukan nama sebenarnya), jawabnya singkat
Dari bahasa tubuhnya,  Idan kurang nyaman dengan kehadiran saya yang tampak antusias untuk mengorek keterangan darinya. Dia berulang kali beringsut mencoba menjaga jarak. Sorot matanya cukup tajam menyiratkan kesan tidak suka ditanya-tanya. Ah tatapan mata demikian dalam istilah Jawa sering disebut dengan ''Mencureng". Berhati-hati saya mengambil foto Ildan dari jarak yang membuatnya makin memasang muka masam. Dari postur tubuhnya, Idan lebih tinggi dari satu anak lainnya. Usianya kira-kira 10-11 tahun.Sebelum menjauh dan mencoba mendekati sosok anak yang duduk terpisah dari Idan, saya melongok kaleng yang idan pegang. Tidak penuh memang, tapi tampak lembarang uang Rp 2000 kisaran belasan lembar dengan beberapa kepingan uang koin lainnya.
"Sekolah enggak nih?, kelas berapa?" saya  gencar bertanya sembari mengamati gerak geriknya. Tangannya terus saja mendekap kaleng. kadang sesekali mengorek isi kareng yang berisi uang yang didapatnya dari orang-orang yang melintas.
"Sekolah, eh enggak" Jawab Eza tidak konsisten
"kelas dua" matanya menatap lebar-lebar meski terkesan sayu . Saya membiarkan jawabannya berlalu, untuk kemudian melanjutkan pada percakapan lain
"Ini siapa yang nge-cat ? Apa enggak lengket?"
"Sendiri", jawabnya sembari menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan keduaÂ
Sambil memegang ujung rambutnya yang berkilau karena warna metalik yang melekat, saya  kembali bertanya
"memangnya ini bisa ilang kalo mandi apa keramas?,Â
"Bisa, Mandi sama keramasnya pake s**light" seolah bangga dia begitu jelas menyebut merek cairan pencuci piring beraroma jeruk nipis itu.
 Ya ampun, batin ini semakin ngenes dengan jawaban Eza. Entah mereka memiliki ide dari mana untuk menjadikan diri mereka sebagai show-case yang cukup atraktif dilihat orang banyak, untuk kemudian menjadi jalan meraup rupiah kecil-kecilan. Biasanya hal serupa banyak dilakukan oleh mereka para pelaku seni. hal serupa pernah saya jumpai di kawasan Kota Tua Jakarta atau Malioboro Jogja, namun bukan anak-anak kecil pelakunya.
"Kalau sepi dapat 50 ribu, kalau lagi rame bisa sampai 100 ribu" Â Jawaban mereka sudah seperti jawaban para pedagang saja.
Hingga pertanyaan pamungkas terhadap mereka adalah untuk apa uang yang mereka dapatkan?Buat Jajan, sebuah Jawaban yang teramat sederhana mengucur dari mulut anak-anak di sudut ibukota. Sungguh, saya tidak dalam kapasitas sebagai pribadi yang bisa membantu mereka secara lebih. Apalagi bermaksud menggalang bantuan untuk mereka. Tidak, ketimpangan sosial khususnya yang menimpa mereka dari kalangan anak-anak hingga orang dewasa di jalanan tidak akan selesai hanya dengan memberi charity dan charity, dari bantuan makanan, pakaian, hingga aneka kebutuhan lainnya.
Harus ada ruang kebijakan yang efektifitas pemberlakuannya dipertanyakan. Sinergi lintas kelembagaan untuk lebih aktif peduli hingga menanggulani. Bukan saja ditingkat Kota/Propinsi atau malah Pusat. Tapi ini sebuat realitas atas gambaran, bahwa selama ini kebijakan dan implementasi atas nama kesejahteraan sosial khususnya menyangkut anak-anak belum maksimal adanya.
Belum lagi ada efek kesehatan akibat cat yang mengandung bahan kimia melekat pada kulit mereka dibalik uang jajan yang didapatkan.
salam damai penuh kasih