Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara RKUHP, "Ichigankoku", dan Celana di Tengahnya

28 September 2019   12:52 Diperbarui: 29 September 2019   05:59 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara umum, semua kejadian entah itu dalam keluarga, masyarakat, atau dalam lingkup yang lebih luas yaitu dalam negara, jika kurang sosialisasi atas suatu tindakan atau kebijakan, maka pasti akan menimbulkan gesekan. Bahkan lebih ekstrim lagi, bisa berakibat penolakan.

Zaman saya SMA dahulu, saya juga pernah protes jika tiba-tiba orang tua memangkas jatah uang jajan tanpa penjelasan. Karena tentu bisa berakibat saya harus rela berjalan kaki menyusuri jalan dari depo KRL Bukit Duri ke Stasiun Manggarai, untuk naik kereta sampai rumah. Sehingga saya pernah dikelilingi dan hampir dipalak oleh anak-anak STM (saya tahu ini dari tulisan di seragam mereka). Efek dari peristiwa tersebut, sejak saat itu saya tidak punya persepsi baik terhadap anak STM (tentu tidak semua mereka begitu).

Begitu juga wajar kalau RKUHP  banyak menuai protes karena minim penjelasan.

Walaupun kalau dipikir, yang duduk di DPR itu juga kan "seharusnya" wakil kita, sehingga mereka setidaknya bisa merasakan atau antisipasi bagaimana reaksi masyarakat waktu mereka merumuskan semua itu.

Atau, apakah memang mereka sudah "amnesia" sehingga merasa tidak mewakili kita semua, karena hati dan pikirannya menjadi "buta" tertutup oleh gaji besar dan berbagai macam tunjangan?

Yang pasti, segala macam peristiwa pasti akan berbeda kalau dilihat dari kacamata/sudut pandang yang berbeda. Misalnya, apa yang sudah terlihat bagus di mata pemeritah, belum tentu bagus juga terlihat dari sisi rakyat.

Saya teringat pada satu episode rakugo (seni penutur tunggal yang dimulai pada era Edo) klasik yang berjudul ichigankoku (negara yang penduduknya orang bermata satu). 

Ceritanya tentang seseorang yang ingin mendapat untung dengan membuka misemono-goya, semacam pertunjukan orang-orang atau benda aneh di ruangan yang dibuat dari tenda yang dipasang di lapangan atau lahan kosong. 

Sedikit tentang misemono-goya ini, kita juga bisa menemukan di Indonesia (saya tidak tahu apakah masih ada sekarang). Dulu sewaktu saya kecil, di area pasar malam dadakan biasanya ada tenda yang memamerkan ular berkepala manusia, orang makan ayam hidup, atau hal-hal aneh lain, di area yang juga mempertontonkan kebolehan orang mengendarai motor di dalam tong yang biasanya disebut tong setan.

Kita kembali ke isi cerita.

Tokoh dalam cerita itu pergi ke suatu daerah, berdasarkan info yang didapat bahwa disana dia bisa menemukan orang aneh. Ketika dia sampai di sana, dia terkejut karena bertemu dengan anak kecil yang hanya mempunyai satu mata, sedang bermain sendirian. Dengan tidak pikir panjang, dia membopong anak itu, kemudian berlari untuk membawanya pulang supaya dia bisa menaruhnya di misemono-goya. Dengan begitu dia berharap bisa mendapatkan banyak uang dari orang-orang yang datang untuk menonton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun