Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara RKUHP, "Ichigankoku", dan Celana di Tengahnya

28 September 2019   12:52 Diperbarui: 29 September 2019   05:59 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: lifehacker.jp

Belakangan ini kalau saya menyimak siaran streaming berita televisi Indonesia, kebanyakan isinya adalah kejadian yang membuat saya prihatin. Mulai dari kerusuhan di Papua, kebakaran hutan, demo yang berujung perusakan gedung/fasilitas umum, tawuran dan masih banyak lagi.

Apalagi tentang demo menentang RKUHP yang masih hangat dan banyak dibicarakan oleh orang, termasuk di kompasiana ini. Kebanyakan dari pedemo menolak beberapa pasal yang (dianggap) merugikan dan multi tafsir.

Saya tidak akan membahas mana saja pasal yang merugikan dan multi tafsir. Apalagi multi tafsir adalah bukan merupakan "barang" baru di negeri tercinta kita. Karena undang-undang yang sudah ada pun, bahkan bisa ditarik kesana-sini bak karet yang bisa melar.

Tetapi saya lebih tertarik pada bagaimana mekanismenya kalau itu sudah disahkan nantinya.

Misalnya saja, tentang pasal hubungan pasangan yang belum menikah, lalu tentang kecerobohan dalam pemeliharaan hewan. Nanti siapa kira-kira yang harus bertugas untuk mengawasi (mungkin juga patroli) ada atau tidaknya pasangan kumpul kebo, maupun ada tidaknya hewan yang nyelonong ke pekarangan orang lain. 

Mungkin Pak Hans (meminjam sebutan Benyamin untuk hansip) siap-siap kejatuhan rezeki nomplok karena ada tambahan bonus gaji (akibat pekerjaan bertambah). Atau mungkin bisa juga apes, karena hanya pekerjaannya saja yang bertambah.


Menarik juga membayangkan bagaimana jika orang-orang yang terjerat pasal itu (nantinya kalau disahkan) ternyata tidak mampu membayar denda. Karena jika penjara menjadi opsi, apakah jumlah penjara di seluruh Indonesia sudah mencukupi? Karena saya pernah membaca bahwa ada beberapa penjara yang sudah kelebihan kapasitas tampung.

Kegaduhan RKUHP ini, dari berita yang saya baca termasuk di kompasiana, ternyata terjadi juga di media sosial seperti WA, Facebook, dan Twitter. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa tulisan di media sosial bisa menyebar dengan cepat ke segala penjuru mata angin dengan satu klik saja.

Dalam era digital saat ini, kekuatan dari berita di media sosial  bahkan bisa lebih dahsyat dibandingkan dengan orang yang hanya berkoar-koar di jalan. Karena di media sosial, orang bisa lebih terpancing emosinya dalam sekejap bak terkena hipnotis, tanpa bisa berpikir secara rasional. 

Kemudian orang yang sudah "terhipnotis" menyebarkan lagi berita itu, dan begitu seterusnya sehingga efeknya bisa berlipat. Kemudian jika beritanya sudah tersebar luas, maka orang tidak peduli (atau lupa bahkan sulit untuk melacak) siapa sebenarnya yang pertama kali menuliskannya. 

Orang akan lebih ingat pada isi beritanya saja. Seiring berjalannya waktu, efek berita bisa menjadi kuat dan bisa lebih memancing/mempengaruhi orang banyak. Bahasa kerennya untuk ini adalah sleeper effect.

Secara umum, semua kejadian entah itu dalam keluarga, masyarakat, atau dalam lingkup yang lebih luas yaitu dalam negara, jika kurang sosialisasi atas suatu tindakan atau kebijakan, maka pasti akan menimbulkan gesekan. Bahkan lebih ekstrim lagi, bisa berakibat penolakan.

Zaman saya SMA dahulu, saya juga pernah protes jika tiba-tiba orang tua memangkas jatah uang jajan tanpa penjelasan. Karena tentu bisa berakibat saya harus rela berjalan kaki menyusuri jalan dari depo KRL Bukit Duri ke Stasiun Manggarai, untuk naik kereta sampai rumah. Sehingga saya pernah dikelilingi dan hampir dipalak oleh anak-anak STM (saya tahu ini dari tulisan di seragam mereka). Efek dari peristiwa tersebut, sejak saat itu saya tidak punya persepsi baik terhadap anak STM (tentu tidak semua mereka begitu).

Begitu juga wajar kalau RKUHP  banyak menuai protes karena minim penjelasan.

Walaupun kalau dipikir, yang duduk di DPR itu juga kan "seharusnya" wakil kita, sehingga mereka setidaknya bisa merasakan atau antisipasi bagaimana reaksi masyarakat waktu mereka merumuskan semua itu.

Atau, apakah memang mereka sudah "amnesia" sehingga merasa tidak mewakili kita semua, karena hati dan pikirannya menjadi "buta" tertutup oleh gaji besar dan berbagai macam tunjangan?

Yang pasti, segala macam peristiwa pasti akan berbeda kalau dilihat dari kacamata/sudut pandang yang berbeda. Misalnya, apa yang sudah terlihat bagus di mata pemeritah, belum tentu bagus juga terlihat dari sisi rakyat.

Saya teringat pada satu episode rakugo (seni penutur tunggal yang dimulai pada era Edo) klasik yang berjudul ichigankoku (negara yang penduduknya orang bermata satu). 

Ceritanya tentang seseorang yang ingin mendapat untung dengan membuka misemono-goya, semacam pertunjukan orang-orang atau benda aneh di ruangan yang dibuat dari tenda yang dipasang di lapangan atau lahan kosong. 

Sedikit tentang misemono-goya ini, kita juga bisa menemukan di Indonesia (saya tidak tahu apakah masih ada sekarang). Dulu sewaktu saya kecil, di area pasar malam dadakan biasanya ada tenda yang memamerkan ular berkepala manusia, orang makan ayam hidup, atau hal-hal aneh lain, di area yang juga mempertontonkan kebolehan orang mengendarai motor di dalam tong yang biasanya disebut tong setan.

Kita kembali ke isi cerita.

Tokoh dalam cerita itu pergi ke suatu daerah, berdasarkan info yang didapat bahwa disana dia bisa menemukan orang aneh. Ketika dia sampai di sana, dia terkejut karena bertemu dengan anak kecil yang hanya mempunyai satu mata, sedang bermain sendirian. Dengan tidak pikir panjang, dia membopong anak itu, kemudian berlari untuk membawanya pulang supaya dia bisa menaruhnya di misemono-goya. Dengan begitu dia berharap bisa mendapatkan banyak uang dari orang-orang yang datang untuk menonton.

Namun apesnya, dia tertangkap oleh masyarakat karena anak itu berteriak ketika dibawa lari. Mereka lalu membawa tokoh dalam cerita, ke tempat pengetua untuk disidang. Sang tokoh dalam cerita juga terkejut ketika sampai di rumah pengetua yang sudah dipenuhi oleh masyarakat. Sebabnya, ternyata semua penduduk disana bermata satu!

Singkat cerita, keputusan masyarakat adalah untuk menaruh tokoh dalam cerita itu di misemono-goya yang akan dikelola oleh penduduk. Karena sang tokoh bermata dua, sehingga membuatnya aneh dan unik di negara yang penduduknya mempunyai satu mata. Hasil dari uang yang didapat dari misemono-goya akan digunakan untuk kepentingan negara.

Dari cerita ini kita bisa mengambil hikmah, bahwa persepsi satu masyarakat belum tentu sama dengan masyarakat lain. Juga persepsi satu orang bisa berbeda dengan orang lain, bahkan dengan masyarakat dimana dia tinggal.

Tokoh cerita mempunyai persepsi bahwa orang dengan mata satu tentu aneh, dan akan membawa banyak keuntungan jika ditaruh di misemono-goya di daerahnya. Ternyata, dia sendiri yang ketiban sial karena pada masyarakat yang bermata satu, sang tokoh sendiri adalah seorang yang unik dan aneh dalam persepsi mereka.

Begitu juga persepsi dari pemerintah, tentu bisa berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Sehingga tentu perlu penjelasan atau bertukar pikiran antara keduanya, agar semua masalah bisa menjadi jelas persoalannya.

Saya ingin menutup tulisan dengan mengatakan bahwa, segala sesuatu yang dipandang baik dan bagus tentu akan terus bertahan untuk diterapkan atau dipakai di masyarakat. Sebaliknya sesuatu yang tidak berguna, akan begitu saja hilang dari ingatan dan lenyap ditelan zaman.

Contohnya, kursi yang mulai digunakan dari zaman peradaban kuno mesir, masih tetap dipakai sampai sekarang. Tentunya saat ini, kursi mempunyai banyak variasi bentuk dan proses pembuatannya pun bisa dari berbagai macam bahan.

Begitu juga dengan sendok dan garpu, yang pertama kali juga digunakan oleh peradaban kuno di mesir untuk acara ritual keagamaan. Lalu berkembang sehingga digunakan juga sebagai alat makan, dan peradaban Roma mulai membuatnya dari bahan perak dan perunggu. Walaupun ada beberapa orang yang masih memakai tangan untuk makan, sendok dan garpu juga masih digunakan untuk makan sampai sekarang.

Kursi, sendok dan garpu merupakan satu contoh bahwa apa-apa yang baik dan bermanfaat akan bertahan dan tidak hilang tertelan oleh zaman.

Bahkan celana yang kita pakai sehari-hari sekarang,  mempunyai sejarah yang panjang karena sudah digunakan sejak 2900 SM!

Tentu kalau celana ini dipandang tidak bagus dan tidak berguna, maka pemandangan di sekitar kita sekarang akan menjadi lain, karena celana pasti sudah punah. Coba cek sekeliling Anda, apakah ada yang tidak memakai celana?

Atau, boleh saja kalau Anda mau mempromosikan bahwa celana itu adalah buruk sehigga tidak perlu dipakai. Tentunya, Anda tidak bisa promosi di depan umum saat ini. Karena kalau Anda melakukannya, bisa berurusan dengan pihak yang berwajib. 

Mungkin Anda bisa pindah ke pulau yang tidak berpenghuni, dan mulai mempromosikannya dari sana. Kalau Anda berencana seperti itu, harapan saya semoga saja nanti Anda tidak dikerubungi serangga, bahkan digigit nyamuk.

Selamat berakhir pekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun