Mohon tunggu...
Syurawasti Muhiddin
Syurawasti Muhiddin Mohon Tunggu... Dosen - Psikologi

Berminat dalam kepenulisan, traveling, pengabdian masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Rantai Keterkaitan: Intervensi Psikologi dengan Pendekatan Sistemik

24 Januari 2021   15:46 Diperbarui: 24 Januari 2021   15:55 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Seorang individu dengan dinamika psikologisnya tak bisa terlepas dari lingkungan tempat dia hidup. Lingkungan tersebut ada yang langsung mempengaruhinya dan ada pula yang tidak secara langsung. Oleh karena itu, berbagai aspek dari lingkungannya tersebut perlu dipertimbangkan apabila ingin melakukan suatu intervensi untuk mengubah perilaku ataupun meningkatkan well-being (kesejahteraan)

Sebagai individu, dapat dikatakan bahwa kita memiliki sistem tubuh (fisik), sistem kognitif, dan sistem afeksi, juga sistem spiritual. Semua itu melekat pada diri kita dan dipengaruhi oleh lapisan-lapisan sistem, mulai dari yang terdekat (secara langsung berinteraski dengan individu) hingga yang terjauh. Lapisan sistem paling dekat dengan individu dan berisi struktur-struktur yang mana individu melakukan kontak langsung dengannya adalah mikrosistem, yaitu antara lain keluarga, sekolah, tetangga, pengasuh. 

Lalu ada lapisan mesosistem yang  menghubungkan struktur-struktur yang ada dalam mikrosistem individu, contoh hubungan antara guru dan orang tua siswa, hubungan antara tetangga dan perkumpulan-perkumpulan tertentu seperti remaja mesjid atau pemuda gereja. Ada lapisan eksosistem yang merupakan sistem sosial yang lebih besar, yang mana seorang individu tidak langsung berhubungan di dalamnya. Namun, struktur-struktur dalam lapisan ini mempengaruhi perkembangan individu melalui interaksi komponen tersebut dengan komponen yg ada dalam mikrosistem individu. 

Contohnya orang tua yang bekerja memiliki jadwal kerja yang padat, secara tidak langsung mempengaruhi anak. Lalu ada makrosistem, lapisan paling luar dan jauh dari individu, terdiri dari budaya, nilai-nilai, kebiasaan, termasuk sistem politik yang dapat mendorong terjadinya kondisi kemisikinan atau ketidakadilan dalam masyarakat; pada gilirannya mempengaruhi kesejahtetaan. 

Selain itu, ada dimensi waktu yang berkaitan dengan individu seperti seperti waktu kematian orang tua, perubahan fisik dan psikis yang terjadi, disebut chronosytem. Lapisan-lapisan ini dikenal juga dengan sistem ekologi Bronfenbenner (Paquette & Ryan, 2001).  Dengan demikian, seorang individu seperti berada dalam sebuah bubble yang berlapis-lapis; dia tak bisa dilepaskan dari lapisan itu dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya.

Intervensi sistem mengarah pada intervensi komunitas. Ada empat prinsip dalam perencanaan intervensi komunitas menurut Kelly. Pertama adalah prinsip ketergantungan; setiap orang dan setiap satuan (sub sistem) masyarakat saling terhubung antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi, sehingga intervensi perlu dilakukan pada berbagai lapisan sistem tadi dan didesain sedemikian rupa agar manfaatnya dapat dinikmati oleh semua yang terkait. Kedua adalah perputaran sumber daya; sumber daya seperti waktu, usaha, alam, dan sebagainya perlu diketahui bersama dan dipertukarkan dalam masyarakat. 

Dalam intervensinya, perlu dipahami cara sumber daya tersebut digunakan dan didistribusikan. Ketiga adalah prinsip adaptasi yang didasarkan pada gagasan bahwa perubahan selalu memerlukan proses dan anggota masyarakat perlu selalu menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru. Olehnya itu, perubahan yang dituju perlu sesuai dengan kecepatan adapasti masyarakat dan perlu juga memperkuat kemampuan adaptasi untuk mempercepat perubahan yang hendak dicapai. 

Keempat adalah keberlanjutan; yang mana untuk mencapai perubahan yang diinginkan, intervensi perlu dilakukan dalam jangka waktu yang memadai karena secara alamiah perubahan terus terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Dari sini dapat dipahami bahwa suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh stakeholder menjadi suatu bentuk intervensi yang dapat berkelanjutan. Lalu, dalam upaya menuju well-being secara menyeluruh dan berkelanjutan, diperlukan baik intervensi levek mikro (individu) maupun level makro (komunitas).

Perlu dicatata bahwa kondisi sosial dan budaya juga berperan dalam meningkatkan maupun menurunkan kesejahteraan individu. Aspek-aspek yang bersifat kolektif menjadi penting untuk dipertimbangkan. Pada dasarnya pandangan ekologis menuntun kita untuk mempertimbangkan konteks sosiokultural pengalaman individu, yaitu bagaimana pengalaman itu berkaitan erat dengan pengalaman sejarah politik, geografis dan sosial dari komunitas yang lebih luas (Abe, 2012).

Kaitannya dengan well-being, pendekatan ekologi mengantarkan kita untuk mempertimbangkan bagaimana gangguan psikologis, kesejahteraan, dan keadilan sosial terkait satu sama lain. Tingkat kesejahteraan individu, pola relasional, dan pengalaman kolektif memang saling berkaitan (Prilleltensky dalam Abe, 2012). 

Keadilan sosial dipahami sebagai bagian integral dari kesehatan psikologis dan layanan kesehatan mental dipandang sebagai sumber perawatan primer, tetapi tidak eksklusif, yang dapat membantu memenuhi kebutuhan kesehatan mental masyarakat (Abe, 2012). Untuk bisa menciptakan keadilan sosial, diperlukan intervensi yang berkelanjutan dengan pendistribusian sumber daya yang merata.

Selanjutnya, berkaitan dengan intervensi anak dan remaja, diperlukan juga pandangan ekologis sehingga intervensinya dapat multilevel. Tentu saja intervensi pada level mikro tetap diperlukan. Bentuk terapi-terapi psikologis individual tetap penting diberikan terutama bagi anak dan remaja yang memiliki permasalahan-permasalahan psikologis berat. 

Meskipun demikian, intervensi yang bersifat preventif berkelanjutan perlu menggunakan pendekatan ekologis atau dengan pendekatan komunitas yang multilevel, yang mana aspek makro ikut diintervensi (misalnya ekonomi, politik, budaya). Pihak-pihak yang terutama perlu dilibatkan dalam program intervensi anak dan remaja adalah keluarga, teman sebaya dari lingkungan mikrosistemnya, serta sekolah. Dengan demikian, intervensi pada anak dan remaja ini seyogyanya bersifat sistemik.

Salah satu upaya untuk mengatasi persoalan-persoalan bangsa adalah dengan membangun generasi penerusnya, dalam hal ini adalah anak-anak dan remaja. Olehnya itu, hal ini bukan pekerjaan yang mudah dan sebentar. Bahkan, proses ini berjalan sejak anak tersebut dilahirkan. Tiga hal yang mempengaruhi perilaku remaja, yaitu genetik dan tentunya ini diwariskan dari orang tuanya sehingga yang akan menjadi orang tua juga perlu belajar dan menjaga diri masing-masing agar mewariskan hal yang baik. 

Lalu prenatal (masa sebelum kelahiran atau dalam kandungan) yang sangat ditentukan oleh bagaimana kehidupan ibu yang mengandung dan ayahnya. Kemudian, attachment atau keterikatan yang  sehat, dapat diberikan pada masa pengasuhan terutama di masa-masa awal kehidupan anak. Melihat kepada tiga hal tersebut, intervensi tentunya bukan hanya menargetkan anak saja, pada masa anak tersebut hidup, tumbuh dan berkembang, melainkan juga pada proses sebelum dia hidup dan nantinya memberikan keturunan. Ini adalah suatu siklus yang memerlukan usaha berkepanjangan.

Selain itu, intervensi yang diberikan seyogyanya memerhatikan kebutuhan psikologis anak dan remaja. Kebutuhan psikologis anak setidaknya ada tiga, yaitu 1) belonginess yang dapat ditumbuhkan dengan memberikan anak cinta tanpa syarat; 2) mempersiapkan masa depan (being), yang dapat diberikan dengan menfasilitasi minat, bakat dan pendidikan anak-anak; serta 3) being a child -- menjadi seorang anak sebagaimana anak-anak, misalnya dengan menfasilitasi anak bermain, berimaginasi, dan berdaya kreatif. 

Persoalan-persoalan yang muncul mungkin karena kita kadang melupakan poin 1 dan 3 daa berfokus pada poin 2 saja. Padahal ketiganya penting untuk well-being anak. 

Sementara itu kebutuhan psikologis remaja adalah belongingness dan relasi. Sangat penting bagi remaja untuk diterima apa adanya di lingkungannya atau dalam kelompoknya. Hal inilah juga yang menjadi alasan mengapa teman sebaya dianggap penting mempengaruhi perilaku pada masa remaja. Selain itu, remaja membutuhkan hubungan saling percaya dan peduli. Penting bagi mereka untuk memastikan semua hubungan baik-baik saja.

Berbagai lingkungan berkontribusi terhadap perkembangan kesehatan mental dan kesejahteraan anak dan remaja. Basu dan Banerjee  (2020) merumuskan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan mental anak dan remaja sebagai hasil dari systematic review terhadap literatur relevan sejak tahun 2000 hingga 2020. Faktor lingkungan tersebut dirangkum menjadi lima tema utama, yaitu lingkungan fisik, lingkungan rumah, lingkungan sosial, lingkungan sosial-ekonomi, dan lingkungan digital. 

Penelitian-penelitian terkait efek teknologi terhadap kesehatan mental anak-anak dan remaja mulai banyak ditemukan sejak 2016 hingga saat penelitian dilakukan (2020). Subtema yang termasuk dalam lingkungan fisik adalah karateristik kehidupan tetangga, perubahan iklim dan bencana alam. 

Subtema yang termasuk dalam lingkungan rumah, yaitu parenting (keterlibatan orang tua dan harapan orang tua), struktur keluarga, dan lingkungan kehidupan keluarga itu sendiri (dalam hal ini kejadian tertentu, penyimpangan atau penyalahgunaan, misalnya kekerasan, perceraian, migrasi orang tua, dan orang tua pemabuk). 

Sub tema yang termasuk dalam lingkungan sosial adalah meningkatnya lingkungan yang kompetitif, serta pelecehan dan trauma (termasuk bullying). Subtema dalam lingkungan sosial-ekonomi yaitu kemiskinan dan kondisi sosial-politik. Sementara itu, yang termasuk dalam lingkungan digital adalah isu FOMO (fear of missing out) dan dampak tidur pada kesehatan mental (kaitannya dengan screen time / penggunaan perangkat smartphone).

Beda tahapan perkembangan, beda fokus dan bentuk intervensi yang dapat diberikan. Intervensi pada lansia, tentunya memiliki perbedaan dengan intervensi pada anak dan remaja. Memasuki fase lansia, pada usia tersebut seseorang memasuki tahap integrity vs despair menurut teori perkembangan psikososial Erikson (1982). 

Pada tahap tersebut, orang-orang merefleksikan kembali kehidupan yang telah mereka lalui dan dapat merasakan kepuasan dari kehidupan yang dijalaninya dengan baik. Namun, seseorang juga dapat merasakan penyesalan dan keputusasaan atas kehidupan yang telah dilalui. Menurut teori Havighurst (1943), beberapa tugas perkembangan pada masa tersebut adalah penyesuaian terhadap penurunan kemampuan dan kesehatan fisik ;menerima adanya penurunan pendapatan dan pensiun; menerima kehilangan pasangan; membangun hubungan dengan individu seusia; beradaptasi dengan peran sosial baru secara lebih fleksibel; serta meraih kepuasan hidup. 

Dari tugas perkembangan tersebut, penting bagi para lanjut usia untuk tetap beraktivitas dan terkoneksi dengan orang-orang terdekat serta rekan-rekan sebayanya.

Bagi lansia yang mengalami isu kesehatan mental, terapi-terapi seperti Terapi Reminiscence serta intervensi dengan seni kreatif dapat membantu lansia untuk meningkatkan well-being-nya. Terapi Reminiscence merupakan terapi yang melibatkan seseorang untuk mengingat dan berbagi kejadian masa lalu sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan psikologis. Meta-analisis Chin (2007) menemukan bahwa terapi ini ini memiliki efek yang signifikan, yaitu dapat meningkatkan kebahagiaan dan menurunkan depresi. 

Sementara itu, intervensi seni kreatif, termasuk seni rupa, gerakan tari, drama, dan musik, digunakan untuk menurunkan gejala depresi pada lansia. 

Review sistematis yang dilakukan Dunphy dkk. (2019) menunjukkan temuan kualitatif yang sebagian besar signifikan atau positif, terutama untuk intervensi yang dipandu oleh terapis seni kreatif. Hasil-hasil positif yang dipeorleh seperti pada aspek fisik  (misalnya, peningkatan kekuatan otot dan pelepasan endorfin), aspek intra-pribadi (misalnya, konsep diri yang meningkat, penguasaan, serta pemrosesan dan komunikasi emosi), aspek budaya (misalnya, ekspresi kreatif, kesenangan estetika), aspek kognitif (misalnya, stimulasi memori), dan aspek sosial (misalnya, peningkatan keterampilan dan koneksi sosial). Semua aspek tersebut dianggap berkontribusi pada penurunan depresi dan gejala.

Tidak hanya pada populasi lansia yang mengalami depresi atau masalah kesehatan mental lainnya, aktivitas seni kreatif dan refleksi dapat dilakukan oleh populasi lansia secara umum. Aktivitas-aktivitas ringan dapat dilakukan lansia secara individu maupun berkelompok. Selain daripada itu, masyarakat di sekitar lansia juga perlu menyediakan lingkungan yang mendukung aktivitas lansia tersebut. Masyarakat juga perlu memandang kelompok lansia sebagai kelompok yang dapat berdaya terlepas dari profesi lansia tersebut. Lansia tetap dapat memberikan kontribusi kepada komunitasnya terutama melalui pembinaan generasi.

Selanjutnya, berkaitan dengan efektivitas intervensi,  intervensi merupakan suatu proses sistematis yang tidak sekedar memberikan suatu program untuk menyelesaikan suatu masalah. Sebelum program diberikan pun diperlukan asesmen awal untuk memahami pokok persoalannya. 

Lalu evaluasi terhadap program perlu dilakukan untuk memahami sejauh mana efektivitas dari program yang diberikan. Evaluasi dapat memberikan pelajaran untuk peningkatan program kedepannya. Olehnya itu, untuk keperluan evaluasi tersebut diperlukan penetapan indikator-indikator keberhasilan program intervensi yang diberikan. Perumusan indikator ini pun tidak terlepas dari teori-teori yang mendasari intervensi, dipadukan dengan realitas-reliatas yang ada.

Sebagai penutup, pemberian intervensi psikologi tidak terbatas pada ruang-ruang praktik psikologi saja dengan hanya mempertimbangkan dinamika individual yang terjadi. Ini tetap penting dan kesehatan mental masyarakat perlu dibangun dari individu. Namun, proses ini perlu didukung dengan suatu ruang lingkup yang jauh lebih besar. 

Lagipula, pelibatan semua eleman yang saling terkait dalam sistem komunitas menjadi bentuk prevensi yang dapat mengurangi kasus-kasus individual yang ditangani di ruang-ruang terapi psikologi pada berbagai rentang populasi usia, muda maupun tua. Untuk bisa menuju komunitas yang sejahtera, perlu dibangun suatu rantai, rantai keterkaitan yang adil dan berkelanjutan. Meskipun tidak mudah untuk mencapainya, namun semua perlu berproses menuju kesejahteraan tersebut.

Referensi:

Abe, J. (2012). A community ecology approach to cultural competence in mental health service delivery: The case of Asian Americans. Asian American Journal of Psychology, 3(3), 168.

Basu, S., & Banerjee, B. (2020). Impact of Environmental Factors on Mental Health of Children and Adolescents: A Systematic Review. Children and Youth Services Review, 105515.

Chin, A. M. (2007). Clinical effects of reminiscence therapy in older adults: A meta-analysis of controlled trials. Hong Kong Journal of Occupational Therapy, 17(1), 10-22.

Dunphy, K., Baker, F. A., Dumaresq, E., Carroll-Haskins, K., Eickholt, J., Ercole, M., ... & Wosch, T. (2019). Creative arts interventions to address depression in older adults: a systematic review of outcomes, processes, and mechanisms. Frontiers in psychology, 9, 2655.

Paquette, D., & Ryan, J. (2001). Bronfenbrenner's ecological systems theory. Retrieved January, 9, 2012.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun